Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mengenang Tragedi Haji Kolombo: Keajaiban Buku dan Perjumpaan yang Mengharukan (1)

Wednesday, February 13, 2019 | 04:18 WIB Last Updated 2019-02-12T21:44:46Z


"Assalamualaikum. Selamat pagi Bapak Djoko Pitono. Mohon maaf ya Pak, saya mengirim email ini. Saya Bu Erna dari Singkawang, Kalimantan Barat. Saya salah satu anak dari korban pesawat haji di Kolombo, Sri Lanka, pada1978. Saya mau tanya ke Bapak, apakah Bapak bisa membantu saya untuk menghubungi Bapak H. Soeharto, pengarang buku “Tragedi Pesawat Haji di Kolombo?”

Terimakasih Pak sebelumnya.”



HAJIMAKBUL.COM - Itu adalah pesan email dari Erna Fahriati SH., M.Kn., seorang Notaris di Singkawang, Kalbar, belum lama ini kepada wartawan Harian Sore Surabaya Post Djoko Pitono yang sekarang menjadi penulis buku. Pak Djoko menjawab email itu agak heran.

“Oh ya, Bu Erna. Tentu. Nanti sebentar lagi Ibu saya hubungi. Saya kontak Pak Soeharto dulu,” jawab Beliau.

“Omong-omong, kok Ibu Erna tahu saya ada hubungannya dengan buku tulisan Pak Soeharto?”

“Saya pas browsing di Internet lewat Google baca tulisan tentang buku “Sujud Syukur Seorang Jurnalis: Keajaiban di Balik Tragedi Pesawat Haji di Kolombo 1978” (Penerbit Tankali bekerjasama denganTitian Ilham Surabaya). Dan ada nama Pak Djoko Pitono dan alamat emailnya,” kata Erna Fahriati. “Saya sebenarnya iseng-iseng saja waktu browsing di Internet. Beberapa waktu lalu kan banyak pesawat jatuh. Jadi saya ingat ayah saya yang pesawatnya celaka, saat saya masih kecil,” kata Erna.

Begitulah.

Satu keajaiban terjadi lagi, 40 tahun setelah tragedi jatuhnya pesawat haji di Kolombo tahun 1978 itu. Pertama, dari 262 penumpang dan awak pesawat yang jatuh, 183 orang meninggal dan 79 orang selamat.Termasuk H. Soeharto, wartawan Surabaya Post saat itu.

Keajaiban kedua, anak Mayor TNI H. Syarif, salah satu korban pesawat itu, ketemu dengan H. Soeharto, yang duduk bersebelahan dan berbincang-bincang sebelum pesawat jatuh. Ini berkat buku yang ditulis H. Soeharto pada 1978 dan diperbarui kembali pada 2017. Kebetulan Pak Djoko Pitono yang mengedit.

Setelah dapat berkomunikasi dengan H. Soeharto, Erna mengatakan sangat terharu dapat kontak dengan orang terakhir yang berbincang-bincang dengan ayahnya sebelum pesawat jatuh pada dinihari 15 November 1978.

“Saya terharu Pak, dapat berkomunikasi dengan Bapak sebagai orang terakhir yang bicara dengan ayah saya. Semoga banyak berkah di usia Bapak. Saya doakan,” kata Erna. “Saya anak ke-6 Mayor Syarif dan saya seorang Notaris di Singkawang, Kalbar.”


Erna mengatakan, dirinya sembilan bersaudara. Saat ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Kolombo pada 15 November 1978, dia dan sebagian saudaranya masih kecil. Sebagian ada yang sudah kuliah tapi kemudian berhenti karena kehilangan ayah.

“Saya teringat, saat itu saya dan saudara-saudara saya berkumpul di rumah kami di Banjarmasin. Kami senang karena ayah kami sudah memberitahu lewat surat bahwa ayah segera datang. Ayah juga menyebut sudah membeli oleh-oleh dari Mekah. Ternyata kemudian datang kabar yang menyedihkan, pesawat haji yang ditumpangi ayah mengalami kecelakaan,” kata Erna.


Seluruh keluarganya mengalami shocked. Kakaknya yang sudah duduk di perguruan tinggi waktu itu pun berhenti kuliah.

Tapi Erna bersyukur. Lewat perjuangan yang keras, akhirnya saudara-saudaranya dapat menyelesaikan pendidikannya dan bekerja dalam bidang masing-masing. Delapan saudaranya itu adalah: H. Fathurrachman Arief, Drs. Hj. Novriati, Haris Fadhillah. Dra. Eny Fahrati, MM., Dr.Ir. Emy Rahmawati, MP., H. Emy Rufiaty SE, Riza Gunawan, dan Indra Wijaya K. Erna sendiri berkeluarga dan mempunyai beberapa anak. Suaminya bekerja di Kejaksaan Tinggi di Pontianak, Kalbar.

Soeharto mengatakan, saat dihubungi Ny. Erna dia juga merasakan adanya semacam keajaiban bahwa dirinya dapat berkomunikasi dengan anak dari korban pesawat haji Kolombo 1978. Dia pun bersyukur dapat nyambung.

“Saya dengan almarhum Bapak Mayor Syarif waktu di pesawat duduk bersebelahan. Beliau saat itu cerita tentang putra-putrinya yang masih kecil-kecil. Ibu anak-anaknya sudah meninggal. Beliau berbicara banyak waktu itu. Semoga almarhum ada di sisiNya selalu,” kata Soeharto pula.

Soeharto menjelaskan, buku “Tragedi Pesawat Haji di Kolombo” (Penerbit Bina Ilmu) yang ditulis pada 1978 saat itu dirinya masih sakit dan sangat trauma. Buku kedua lebih banyak cerita tentang latar belakang bagaimana dirinya dapat selamat.

“Tolong saya dikirimi alamat Ibu Erna. Nanti saya kirimi buku saya yang baru,” kata Soeharto.

“Matur nuwun Pak H. Soeharto yang saya hormati,” jawab Erna pula. “Alhamdulillah. Dulu saya menyimpan buku Bapak Soeharto yang pertama, tapi sudah lama hilang.” (Djoko Pitono/Bersambung)




×
Berita Terbaru Update