Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Diskresi, Bukan Delik: Meluruskan Logika Hukum dalam Kasus Kuota Haji Tambahan 2024

Sunday, October 19, 2025 | 10:49 WIB Last Updated 2025-10-19T03:49:01Z

 


Oleh: Ulul Albab

Akademisi Administrasi Publik & Kebijakan Publik Pengajar Pendidikan AntiKorupsi

BEBERAPA pekan terakhir, masyakat masih disuguhi perdebatan sengit mengenai dugaan penyimpangan dalam pembagian kuota haji tambahan 2024. Sebagian pihak melihatnya sebagai bentuk pelanggaran.

Sebagian lain menilai, kebijakan itu justru diambil untuk menyelamatkan kepentingan Indonesia, sekaligus kepentingan jemaah haji Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk opini dan penyelidikan yang bergulir, kita perlu menahan diri sejenak untuk bersikap tenang dan bertanya: apakah keputusan itu benar-benar melawan hukum, ataukah merupakan bentuk diskresi administratif yang sah secara hukum?

Memahami Hakikat Diskresi

Diskresi adalah kewenangan pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan tertentu dalam situasi yang belum diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan, dengan tujuan melancarkan pelayanan publik dan kepentingan umum.

Landasan hukumnya termaktub jelas dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP).

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut dapat dijelaskan bahw diskresi digunakan untuk kepentingan:

(1). Mengisi kekosongan hukum,

(2). Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,

(3). Memberikan kepastian hukum, dan (4). Menghindari stagnasi pemerintahan.

Dalam konteks kuota haji tambahan 2024, Menteri Agama menggunakan diskresi administratif karena adanya situasi luar biasa: pemberian kuota tambahan oleh Pemerintah Arab Saudi terjadi menjelang waktu keberangkatan.

Artinya, keputusan harus segera diambil agar jemaah Indonesia tidak kehilangan kesempatan menunaikan ibadah haji.

Dalam kondisi semacam ini, keputusan cepat bukan hanya rasional, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral dan administratif pejabat publik.

Kewenangan Menguji Diskresi

Secara hukum tata negara, yang berwenang menilai sah atau tidaknya suatu diskresi adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan lembaga penegak hukum seperti KPK. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 menegaskan bahwa PTUN berwenang memeriksa keputusan pejabat administrasi negara.

Dengan demikian, pengujian atas kebijakan administrative, termasuk apakah diskresi dilakukan sesuai prosedur dan untuk kepentingan umum, harus dilakukan secara administratif terlebih dahulu, bukan langsung melalui pendekatan pidana.

KPK tentu memiliki mandat penting dalam pemberantasan korupsi, namun intervensi pada wilayah kebijakan publik tanpa indikator korupsi yang jelas, berpotensi mengaburkan batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana.

Tidak semua keputusan yang tidak lazim adalah pelanggaran hukum.

Bahaya Kriminalisasi Kebijakan

Penegakan hukum tanpa pemahaman atas logika administrasi dapat berujung pada kriminalisasi kebijakan.

Jika setiap keputusan yang bersifat diskresioner langsung dicurigai sebagai korupsi, pejabat publik akan kehilangan keberanian untuk bertindak cepat dalam situasi darurat.

Padahal, hukum administrasi modern dibangun atas asas “good faith governance”, niat baik pejabat dalam menjalankan tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat.

Kriminalisasi terhadap niat baik justru akan menimbulkan efek ketakutan (paralysis by fear) di kalangan birokrasi, yang pada akhirnya merugikan pelayanan publik itu sendiri.

Administratif Dulu, Pidana Kemudian

Dalam sistem hukum publik, dikenal prinsip “integrated legal control” terhadap tindakan pemerintah.

Artinya, setiap dugaan penyimpangan kebijakan publik harus diuji terlebih dahulu melalui mekanisme administratif, baru kemudian, bila terbukti ada niat jahat dan keuntungan pribadi, dapat dilanjutkan ke ranah pidana.

Pendekatan ini menjaga keseimbangan antara dua nilai penting:

Pertama; Pemerintahan tetap berjalan cepat dan responsive.

Kedua; Penegakan hukum tetap tegas tanpa mengebiri keberanian pejabat publik.

Banyak negara maju menerapkan prinsip serupa, agar ruang inovasi dalam tata kelola pemerintahan tetap hidup tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas.

Refleksi: Menjaga Keadilan dan Akal Sehat

Dalam perdebatan kuota haji tambahan ini, kita tidak sedang membela siapa pun.

Kita hanya ingin menjaga akal sehat publik dan keseimbangan hukum.
Bahwa keberanian pejabat mengambil keputusan untuk kepentingan umat tidak boleh langsung dipidana tanpa dasar hukum yang kuat.

KPK tetap harus didukung sebagai pilar integritas bangsa.

Namun, dalam menjalankan fungsinya, proporsionalitas dan asas keadilan substantif harus dijaga.

Karena dalam dunia administrasi pemerintahan, tidak semua kesalahan adalah kejahatan, dan tidak semua keputusan yang berbeda dari kebiasaan adalah penyimpangan. (*)

×
Berita Terbaru Update