Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Novel Religi: Ghost Writer

Wednesday, May 8, 2019 | 08:03 WIB Last Updated 2019-05-08T23:55:33Z

                                                       A Novel by Gatot Susanto

                                                                        Prolog


“Seperti pohon, pondok pesantren seperti bibit yang baru tumbuh, lalu bangunan fisiknya meninggi, bercabang dan beranting ke mana-mana,  akar spiritualnya menghunjam kokoh ke bumi. Lantas angin datang membadai menguji kekokohannya.” 




SUASANA Pondok Pesantren An Nahdliyah sepintas tampak lengang. Terdengar dengung  seperti suara lebah yang merayapi hampir semua kawasan bagian depan pondok yang berada di kaki Bukit Tlekung itu.

Suara puji-pujian kepada Tuhan. Dzikir yang dikumandangkan para santri bersaut-sautan, antara kelompok santri yang tengah mengaji Al Quran di masjid utama dan mereka yang berada di dalam kelas-kelas. Sebagian berdiri sambil membaca kitab dalam ukuran sangat kecil, bersandar pada dinding bangunan yang bercat hijau, dengan mulut yang tak henti-hentinya membaca firman Allah SWT.



"Mereka santri tahfid sedang menghafal ayat-ayat Al Quran."  Ustad Tadjudin menjelaskan kepada Andy yang bengong melihat aktivitas di pondok pesantren itu.

"Yang di sana apa juga bagian dari pondok sini, Ustad?" Andy menunjuk sejumlah bocah yang duduk di depan rumah sederhana, dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Mereka juga membawa kitab dalam ukuran kecil.

"Ya, sama. Kami sedang mencari tempat yang lebih layak untuk mereka. Mereka juga santri tahfid."

"Kasihan...!?"

"Mereka santri yang memang ingin menghafal Al Quran. Tujuannya satu itu. Jadi, tidak masalah bila harus tinggal di rumah gedhek. Orang tuanya sudah tahu. Santrinya sudah siap. Kami tentu meneguhkan fisik dan ruhaninya agar kuat menghadapi situasi ini. Tapi kami sedang mencari tempat yang lebih layak bagi mereka, tentu saja...."

Saat masuk ke bagian dalam, pemandangan serupa terlihat. Semua khusyuk melafalkan ayat-ayat suci, yang bunyinya membuhul ke langit, memayungi alam, memberi kesejukan, di tengah bumi yang semakin gerah dan payah, menanggung beban dosa-dosa manusia.



"Mas Andy, itu tempat Ustad Rahardian..." Ustad Tadjudin mempercepat langkahnya sambil menunjuk sebuah bangunan sederhana. Andy bergegas mengikutinya. Dalam diri pria ini berkecamuk pikiran antara ingin membantu membenahi fasilitas tempat tinggal santri di rumah gedhek tadi, dan gambaran sosok Ustad Rahardian.

Andy mendapat tugas dari bosnya, artis terkenal Saharini, menemui Ustad Rahardian, untuk mengajak mengerjakan proyek besar. Saharini ingin membuat buku yang bila ceritanya sangat kuat, menarik, dan meledak di pasaran, akan dibikin sebuah film. Namun, mengapa Saharini memilih ustad yang tinggal di pondok yang sangat terpencil ini?

Andy tidak tahu.








                                                                     Bab I


                                                           Tembang  Bimbang



Assalamualaikum...

Pria yang masih sangat belia itu agak terkejut mendengar suara salam dari arah pintu masuk. Dia pun segera bangkit dari sajadah yang digelar di pojok ruangan yang tertata rapi.

"Waalaikumussalam...." Bergegas pria muda itu menyambut tamunya.



Ustad Tadjudin langsung menyalami pria dengan posisi membungkuk, nyaris mencium tangannya. Tapi buru-buru, pria itu menarik tangannya.

"Lho siapa tamu kita ini, Ustad..?" Pria itu menghampiri tamunya sambil menyodorkan tangannya mengajak bersalaman.

"Ini Mas Andy, dari Jakarta. Mas Andy ingin bertemu Ustad, penting katanya. Tapi saya belum tahu apa yang dimaksud penting itu..."

Tadjudin tersenyum. Andy menjabat tangan pria itu. Dia merasakan tangan pria ini halus dan empuk.

"Mari-mari duduk..." Pria yang dipanggil ustad itu mempersilakan tamunya untuk duduk di bagian lantai ruangan yang ditinggikan sekitar 40 cm sebagai tempat salat sekaligus diskusi santai. Tak ada kursi dan meja. Apalagi sofa.

Menempel pada dinding di dekat tempat salat itu terdapat lemari yang dipenuhi buku-buku, khususnya buku agama. Ruangan 4 x 6 m itu sangat sederhana.

"Ada apa ini, kok tiba-tiba kami kedatangan tamu istimewa dari Ibukota.." Pria itu membuka obrolan ketika mereka bertiga sudah duduk bersila di lantai yang hanya disemen yang diberi tikar.

"Mari Mas Andy langsung saja matur ke Ustad Rahardian..." Tadjudin mempersilakan Andy bicara. Pria perlente yang menjadi orang kepercayaan Saharini itu memperbaiki posisi tempat duduknya. Mencari kata pembukaan yang tepat. Ustad Rahardian sepintas masih muda, tapi wibawanya membuat Andy harus menaruh hormat kepadanya. Dia mulai merasakan alasan mengapa bosnya memilih pemuda di hadapannya ini.

"Begini Ustad..." dia diam sejenak,"apa ustad tahu artis bernama Saharini...?"

Yang ditanya memandang Tadjudin. Dua ustad itu saling bertanya dalam pandangan matanya masing-masing. Tak lama kemudian sama-sama menggeleng. Andy tentu sangat kaget. Saharini adalah artis penyanyi top, albumnya selalu meledak di pasaran, lantunan suaranya yang merdu saat menyanyikan hits-nya terdengar di radio maupun televisi dan gadget milik anak-anak remaja. Bahkan para pria dewasa juga menyimpan foto-fotonya dan menjadikan salah satu lagunya jadi nada dering pada ponselnya.



Bukan hanya musik, film yang dibintanginya juga selalu masuk box office. Saat musim sinema religi sedang booming, dia banjir tawaran main sinetron dan film religi. Hampir semua kalangan mengenalnya. Mengidolakan Saharini yang cantik jelita. Andy tidak percaya dua orang di hadapannya tak mengenal Saharini.

"Saharini itu sangat terkenal Ustad...!"

"Maaf...." Ustad Rahardian sedikit menunduk,"Sungguh minta maaf. Terus terang saya ini kuper. Itu kata santri saya sendiri. Tapi memang saya tidak ada waktu membaca koran, menonton televisi, buka internet...?"

Ustad Rahardian berbicara sambil tangannya sesekali menepuk tikar.

"Ustad sibuk mengurus santri..." Tadjudin menimpali. Andy mengangguk. Tetap tidak sepenuhnya percaya. Rasa keheranan masih menguasai pemikirannya.

Meski Rhoma Irama tidak pernah menciptakan lagu Penasaran, sungguh mati Andy tetap merasa penasaran ada makhluk di bumi Indonesia ini tak kenal Syaharini. Artis seksi, cantik, bersuara khas.

"Baik, tidak apa-apa Ustad! Saya berkunjung ke sini atas perintah Beliau.."

Andy mencoba menata lagi kalimat yang akan diucapkan agar mudah dimengerti oleh sang tuan rumah. Tapi dua ustad di hadapannya tetap saja tidak sepenuhnya mengerti. Tadjudin sempat menebak, mungkin artis ini mau mencari guru spiritual agar kuat secara batin menghadapi kerasnya persaingan kehidupan artis.

Sudah bukan rahasia lagi, kalau bisnis apa pun produknya selalu diwarnai persaingat ketat. Dan orang yang takut kalah bersaing, ada yang sambat ke kiai, ustad, atau bahkan dukun. Bukan berdoa kepada Allah, tapi minta tolong kepada manusia yang sebenarnya juga sering minta tolong kepada manusia yang lain. Artis dan kiai atau paranormal bin guru spiritual seperti dua sisi mata uang di dunia yang serba gamang ini.

Tapi bisa juga punya tujuan lain. Misalnya mau memberi sumbangan. Artis menyumbang juga jadi tren.



Filantropi kecil-kecilan menjadi gaya hidup. Bahkan ada yang menjadikan acara amal untuk mata pencaharian atau trik mendongkrak pamor si artis. Tadjudin tahu soal ini bukan secara langsung melainkan dapat cerita dari ustad di pondok yang ada di kota, yang pimpinannya seorang pimpinan parpol, dan koleganya banyak pejabat, pengusaha, dan artis top ibukota.

Tadjudin membayangkan andai artis terkenal itu memberi sumbangan lalu mengunjungi pesantren ini, pasti heboh. Bukan hanya para santri, tapi masyarakat sekitar. Bahkan bisa juga diliput semua koran dan televisi. Pesantrennya pasti akan terkenal. Sumbangan berdatangan. Tak ada lagi bangunan dari gedhek, semua gedung dibeton, pasti megah.

Apalagi sejak masuk pondok, Andy selalu bertanya soal para santri yang belajar di tempat yang menurutnya tidak layak. Tadjudin senang bila ada artis mau membantu pesantrennya. Senang bukan kepalang.

"Saya senang Bu Saharini peduli pada pesantren kami..." kata Tadjudin.

Ustad Rahardian memandang Tadjudin sambil menggelengkan kepala, tanda tidak suka dengan kata-kata orang dekatnya itu. Namun dia diam menunggu.

"Maaf, tapi ini bukan soal pesantren," Andy melanjutkan,"Saharini menawarkan kepada Ustad Rahardian pekerjaan untuk menulis buku. Tema tulisan nanti kami jelaskan di Jakarta kalau ustad sudah setuju kita bersinergi...." Andy menjelaskan.

Rahardian dan Tadjudin melongo. Apa gerangan yang ada di otak Saharini saat memilih ustad pesantren ndeso ini? Apa tidak salah? Mungkin salah alamat.

"Maaf, Mas...?" Rahardian masih kebingungan,"apa Mas Andy tidak salah orang...?"

"Tidak, Ustad...!" Andy mengambil posisi agak berdiri dengan kaki tetap ditekuk untuk mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah kertas berisi catatan nama Rahardian Elistianto Pesantren An Nahdliyah Diwek Jombang.

"Ini betul kan, Ustad...?" Dia menunjukkan kertas yang agak kumal itu ke tuan rumah. Rahardian mengangguk-angguk.

"Benar...tapi...?" Rahardian ragu,"dari mana nama saya sampai Jakarta. Wong saya hanya di sini. Hampir setiap hari. Saya memang suka menulis puisi, kadang bikin cerita, saya bagikan ke santri, agar mereka belajar juga dari cerita saya itu. Ya itu saja, tak ada lain. Kok sampai Ibu Saharini tahu nama saya....?"

"Wah, saya tidak tahu, Ustad!" Andy tidak kalah herannya. Bahkan sejak ditugaskan pertama kali ke Jombang menemui Ustad Rahardian, dia sudah protes. Dia juga sudah mencarikan penulis top ibukota, novelis paling terkenal sudah dia hubungi agar mau menulis kisah Saharini yang memang sangat menarik. Sang novelis sudah bersedia, tapi Saharini tidak mau. Dia hanya mau kisah hidupnya ditulis oleh Rahardian.



Tadjudin tidak mau melepaskan kesempatan agar pesantrennya ini bisa lebih baik, agar para santri mendapat fasilitas yang layak, tidak belajar di rumah gubuk. Bagaimana para penjaga Al Quran, penyampai firman Tuhan, diperlakukan tidak adil dan harus tidur dan belajar di tempat tidak layak? Mungkin ini jawaban Tuhan atas doa-doa Tadjudin dan para santri agar mereka mendapatkan rezeki halal yang melimpah.

"Boleh usul, Ustad...?" Tadjudin menggeser posisi duduknya mendekati Ustad Rahardian. Sang ustad mengangguk.

"Saya kira Ustad harus menerima tawaran itu..." Tadjudin mencoba memberi semangat kepada Ustad Rahardian.

Dan Rahardian heran melihat muka serius Tadjudin.

"Harus...!?" Rahardian juga tak kalah serius. Tapi kemudian dia tertawa kecil.

"Sepertinya kesempatan ini jangan sampai lewat, Ustad!" Andy menambahi.

Rahardian berdiri dalam kegelisahan. Apa yang membuat Tadjudin menyebut kata "harus" untuk sesuatu yang dia sama sekali tidak mengerti. Sambil berjalan keluar ruangan, Rahardian bersenandung.

Tadjudin tahu, itu bukan sekadar senandung, tapi tembang berisi dzikir dan salawat yang dilantunkan Rahardian saat menghadapi situai galau. Bimbang. Apakah kepergiannya seperti maskumambang atau batu hitam yang akan tenggelam?

(Bersambung)


×
Berita Terbaru Update