Foto:caknun.com
HAJIMAKBUL.COM - Sudah sangat lama sekali saya tidak mengikuti pengajian Padhang Mbulan di Desa Menturo Kec. Sumobito Kab. Jombang. Menturo merupakan desa tetangga desa saya di Kesamben Jombang. Karena itu, ketika Ustad Nur Fakih dan Gus Nuruddin Ali mengajak saya untuk mengikuti acara Padhang Mbulan, saya pun langsung meng-iya-kan. Meng-oke-kan-nya.
Maka, Minggu 26 Mei 2019 malam, setelah membantu Bu Gatot melayani menu makan bukber anak yatim dan buka puasa di Teras 818, kami meluncur ke Jombang. Saya sopiri sendiri mobil Calya milik Gus Nuruddin sebab dua penumpang lain tidur selama perjalanan dari Sidoarjo menuju Menturo.
Saya lupa-lupa ingat jalan menuju Mentoro. Karena itu butuh sekali tanya warga di Sumobito agar tidak kesasar. Setelah arah jalan benar, kami langsung meluncur ke desa yang aspal jalannya mulus itu. Jauh berbeda dengan jalan-jalan desa lain di Jombang yang sepengetahuan saya banyak yang rusak. Termasuk jalan di Desa Kesamben bagian timur dan sebagian jalan Kesamben-Sumobito--semoga segera mendapat perhatian dari Ibu Bupati.
Sesampai di pintu masuk desa, mobil jamaah lain sudah memenuhi sisi kiri kanan jalan. Pokoknya "tuangan" (bahasa Jombangan untuk jalan desa di antara persawahan tanpa rumah penduduk, Red.) penuh mobil. Sebagian di antaranya dari luar kota, seperti saya yang sekarang tinggal di Sidoarjo, ustad Nur Fakih (Gresik) dan Gus Nuruddin (Surabaya). Ustad Nur Fakih dan Gus Nuruddin mengajak saya ke Padhang Mbulan setelah sebelumnya bertemu dengan Ustad Yusron Aminullah, di acara Bukber Mas Anies di Surabaya.
Sesampai di tengah "tuangan", mobil pun saya parkir di pinggir jalan "tuangan" itu. Saat masuk desa sudah penuh manusia. Mereka duduk-duduk dengan "menggelar" lembaran plastik yang dibeli dari pedagang keliling di antara jamaah. Membaur dengan pedagang topi maiyah, tahu ote-ote gorengan, bakso mi ayam, akik, jimat, mainan anak-anak, dan masih banyak lagi.
Sebagian di antara mereka terlihat seperti orang berlibur, ada yang klesetan alias tidur-tiduran, sebab lokasinya jauh dari panggung tempat Keluarga Cak Nun memberi wejangan soal pendidikan anak dan kunci kebahagiaan. Mereka tetap bertahan meski sampai dini hari, seusai tampil Kiai Kanjeng dan wayang kulit dari Rembang Jateng dengan dalang Mas Sigit. Wayangan yang heboh dengan lakon Dewa Ruci.
Saya dan dua teman heran dengan jamaah yang begitu banyak. Saya mau ngopi saja sulit sebab tempat duduk warung depan rumah Cak Nun penuh. Lalu memutar untuk salat tarawih di belakang rumah orang tua Cak Nun dan Ustad Yusron itu juga penuh dengan mobil parkir dan sepeda motor di halaman rumah-rumah warga. "Perekonomian warga hidup setidaknya satu bulan sekali, mulai berdagang makanan minuman kue hingga jasa parkir," kata Ustad Nur Fakih saat salat di musala gang belakang rumah Cak Nun.
Kami pun tidak bisa melihat langsung panggung penampilan Keluarga Cak Nun. Hanya bisa melihat lewat tayangan live di layar lebar yang dipasang di antara jamaah di jalanan dan halaman. Saya bersama ribuan jamaah lain mendapat ilmu mendidik anak ala Keluarga Cak Nun-Novia Kolopaking dan dari saudara Cak Nun lain yang konsen menggeluti dunia dakwah dan pendidikan.
"Guru utama adalah orang tua, yang di sekolah posisinya hanya sebagai asisten guru.” Begitu Bu Via--panggilan Novia Kolopaking, istri Cak Nun, mengungkapkan di hadapan ribuan pejalan cinta yang berkumpul di Mentoro, Sumobito, pada 26 Mei 2019 Masehi.
Seperti ditulis M.Z. Fadil di laman caknun.com, tengah malam tanggal 27 Mei itu adalah hari lahir Mbah Nun yang ke-66 dan tanggal 28-nya adalah hari lahir Cak Mif. Mbah Nun ya Cak Nun ketika kami dulu memanggil Beliau.
Lebih lanjut dituliskan, apa kiranya arti sebuah peringatan hari kelahiran? Di majelis Maiyah pada mata air yang benderang di PadhangmBulan, hari kelahiran marja’ dan guru yang kita cintai diisi dengan petikan hikmah dan kisah perjalanan. Untuk apa? Bukankah waktu pasti berlalu? Justru karena waktu berlalu, maka kisah dikisahkan agar generasi baru tidak kehilangan jejak rasa dan jiwa zaman yang lampau. Dengan begitu kita tidak hanya menjadi tukang ambil penggal bulatan ilmu tanpa mengerti asal muasalnya.
Waktu pasti berlalu, begitulah sifatnya dunia berubah karena memang itulah yang dilakukannya. Kalau kita terjebak pada bentuk maka kita bisa terjebak romantisme untuk mengulang, mentradisikan belaka sambil kehilangan ruh esensi perjuangan.
Apa yang disampaikan Bu Via mengenai pola didik dalam keluarga seperti menjadi kontinuasi dari sikap pendidikan serta amal sosial yang telah lama ditabung oleh generasi-generasi terdahulu keluarga Mbah Nun seperti yang kemudian dikisahkan oleh Cak Mif. Ada capaian masa lalu yang perlu dipertahankan ada yang perlu ditemukan formula barunya.
Muhammad Saw pada setelah Fathul Makkah merombak kebiasaan menaruh patung dan sesembahan di Ka’bah padahal dalam satu versi sejarah tradisi tersebut adalah hasil kreasi Abdul Muthalib kakek beliau sendiri. Muhammad Saw meneruskan perjuangan kakek beliau tanpa terjebak pada romantisme tradisi tapi justru menjadikannya titik pijak menuju tradisi yang lebih baru. Ruh perjuangannya tetap sama, tapi bentuknya berbeda.
Ketika Cak Mif membagikan kisah dari masa lalu, kita bisa melihat perjalanan keluarga Ayah Muhammad dan Bunda Halimah dalam memberdayakan, menyelamatkan, mencerdaskan serta menggembirakan orang-orang. Cak Mif mengajak kita ke masa tahun 70-an, di mana transportasi dan komunikasi belum secanggih sekarang.
Saat-saat di mana Cak Mif kemudian harus melepas status kemahasiswaan beliau untuk meneruskan perjuangan ayah Muhammad, meneruskan lembaga pendidikan keluarga. Di tangan Cak Mif lah, tanpa juga pernah bercita-cita akan kebesaran, lembaga pendidikan ini kemudian berkembang. Sangat mengesankan bagaimana Cak Mif kisahkan, bahwa beliau masih hapal 24 orang yang menjadi anggota awal pendidikan dasar di madrasah setingkat sekolah dasar. Ternyata sebagian besar tidak mungkin melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih lanjut dan Cak Mif berinisiatif membuka lembaga pendidikan tingkat menengah atas.
Adalah cinta yang hadir pada malam hari itu, tak terhitung tak tergambarkan berbagai macam ekspresi serta gejala cinta yang mewarnai malam di Menturo kali ini dan malam-malam setelah ini di majelis PadhangmBulan. Majelis yang sudah ada sejak 1992, yang awalnya adalah majelis pengajian kecil-kecilan untuk keluarga dan orang terdekat. Seperti mata air yang awalnya hanya memancar setetes demi setetes, kemudian menjadi telaga, kemudian mengalir menjadi berbagai lelaku jalan-jalan Maiyah di berbagai titik.
Di situlah juga kita bisa lihat, Mbah Nun juga adalah pelaku kontinuasi ruh perjuangan yang fondasinya ada pada para sesepuh dan leluhur. Ketika tanpa disangka PadhangMbulan mengalirkan cahaya ke berbagai arah, sudah sejak lama banyak yang menyangka ini adalah bentuk penggumpalan massa, mobilisasi atau hasrat politik kekuasaan yang praktis.
PadhangmBulan sudah punya dinamikanya sendiri, generasi demi generasi lahir. Cobaan dan tempaan sudah dialami, PadhangmBulan dalam wujud majelis-majelis Maiyah tetap mengalirkan kemesraan dan kebahagiaan ke segala penjuru, tetap dan terus berjalan. Maka apabila cinta yang ditanam, cinta pula yang tumbuh, bersemai dan berkembang. Cinta mengumpulkan kita semua di sini, melalui aliran waktu, ruang dan berbagai dimensi.
Getaran cinta diekspresikan dalam bentuk persembahan nomor-nomor spesial oleh KiaiKanjeng pada Mbah Nun. Guru dalam artian yang sebenarnya, yang bukan sekadar memberikan ajaran baku tapi mencontohkan bagaimana kita bisa hidup dengan memaksimalkan segala daya dari diri sendiri.
Mbah Nun mencontohkan pada kita bagaimana beliau tidak pernah mencari kesetujuan dari para jamaah dengan cara-cara pengkeramatan yang berlebihan. Mbah Nun jarang sekali menundukkan dengan narasi-narasi keramat, bahwa seolah pikiran dan pemikiran ini-itu hasil dari kutipan kitab-kitab masa lalu, yang dijadikan legitimasi kelas para ahli kitab-kitab.
Mbah Nun meletakkan narasi pada sewajarnya, bukan alat otoritas keilmuan, tapi menjadi bahasan yang terbuka untuk disetujui atau tidak disetujui dan dihargai semestinya sebagai pendapat. Mbah Nun mengajak kita untuk naik kelas, menjadi versi terbaik dari siapa diri kita sebanrnya, bukan menjadi followers apalagi Cak Nun wannabe.
Apa yang dilakukan oleh Cak Mif dan Mbah Nun adalah kontinuasi dari cikal-bakal sikap sosial yang mencerdaskan dan menggembirakan, oleh para generasi terdahulu. Waktu akan berlalu, dunia pasti berubah. Kita para JM sudah mendapat berbagai banyak kegembiraan pada majelis-majelis Maiyah, maka dengan otentik serta presisi kita juga perlu bertekad untuk menjadi kontinuasi lagi dan lagi atas benih-benih cinta dan kegembiraan ini di manapun kita berada.
Dalang Mas Sigid dengan caranya sendiri, sebagai dalang tentu saja mengekspresikan cintanya dengan mementaskan lakon Dewa Ruci. Sebuah lakon yang dalam pedalangan dianggap lakon carangan. Dan dengan cara paling otentik seperti apakah kita akan mengekspresikan cinta kita? Dengan menjadi benih kegembiraan pada wilayah mana? Tak masalah, kita akan terus berjalan melanjutkan dan mengkontinuasi ruh perjuangan yang kita dapat di berbagai majelis Maiyah. Maiyahan Padhangmbulan. (*)