Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Memilih Presiden dengan Cerdas dan Mandiri! Istikharah Dulu Ya...

Tuesday, April 9, 2019 | 05:17 WIB Last Updated 2019-04-09T01:58:14Z

                                        Ilustrasi: Pixabay.com

HAJIMAKBUL.COM -  Saya membaca detail tulisan Imam Shamsi Ali di hajimakbul.com sambil menyimak video yang menyertainya. Imam Shamsi yang dulu mendukung Jokowi-JK di pilpres 2014, kini memilih Prabowo - Sandi dengan alasan realitas Pemerintahan Jokowi yang Beliau nilai mengecewakan rakyat. Memilih presiden  harus teliti agar tidak kecewa selama lima tahun ke depan.

Lo, bukankah ada JK? Selain sesama putra Makassar, bukankah JK juga menjadi pemimpin negeri ini bersama Jokowi? Imam Shamsi yang orang Makassar, mungkin, melihat Jokowi tidak banyak memberi peran kepada JK untuk membangun bangsa ini secara maksimal.


Dalam kaitan ini pula,  kita bisa tahu mengapa JK dalam berbagai pernyataannya seperti tidak mendukung Jokowi dan malah terkesan mendukung Prabowo Subianto. Betapa tidak, ketika Prabowo gencar bicara soal dugaan korupsi proyek pemerintah, JK tiba-tiba bicara soal mark up harga LRT. Ketika Jokowi menyoal tanah Prabowo di Kalimantan dalam forum debat capres, JK malah menyatakan tanah itu sah. Dibeli Prabowo kontan sebab mantan Danjen Kopassus ini tidak ingin tanah itu dikuasai asing.

Dua poin itu memang belum cukup menunjukkan dukungan riil JK kepada Prabowo. Namun tak lama kemudian Erwin Aksa, keponakan JK, mengumumkan dukungannya kepada Prabowo.

Sebagai pengusaha umumnya mendukung capres dilakukan secara diam-diam. Mungkin hanya setor dana saja. Cari aman.  Bahkan banyak yang dua kaki. Bila Prabowo terpilih bisnisnya aman lancar, begitu pula bila Jokowi yang terpilih. Itu pikiran pengusaha ketika melakukan relasi politik dengan penguasa.

Tapi Erwin Aksa tidak. Dia melakukannya secara terbuka dan bahkan bersama 1.000 pengusaha untuk ikut di barisan pemenangan Prabowo-Sandi.

Bukan hanya pengusaha. Sekarang sejumlah kiai yang sebelumnya bersikap diam seakan netral, juga mulai menunjukkan pilihannya di pilpres 17 April 2019 mendatang. Selain Kiai Shamsi Ali, ada pula KH  Abdullah Gymnastyar alias Aa Gym yang mengarah mendukung paslon 02.

Aa Gym menggunggah foto seorang pendukung Prabowo-Sandi, sepertinya nonmuslim,  sedang berdoa di dalam Stadion Utama GBK saat kampanye akbar Minggu 7 April 2019. Tampak jelas dalam foto tersebut, perempuan itu berdoa sambil memejamkan mata seraya mengepalkan kedua tangannya di depan dada. Terlihat pula di depannya dua perempuan bermukena sedang melaksanakan salat. Pemandangan yang syahdu. Umat beragama rukun saling mendukung dan saling mendoakan sesuai keyakinan agamanya masing-masing.

Meski selalu enggan menunjukkan secara terbuka pandangannya dan siapa pilihannya dalam Pilpres 2019, Aa Gym sudah mempunyai pilihan yang selaras dengan cuitannya itu.

"Saya punya pilihan dan saya menghormati pilihan yang lain. Ayo kita bersama jaga ukhuwah dan persatuan di rumah kita Indonesia yang kita cintai ini," kata Aa Gym, masih dari akun Twitter miliknya beberapa hari yang lalu.

Selain itu yang ditunggu sikap politiknya adalah KH Abdul Shomad dan KH Arifin Ilham. Kiai Shomad dan Ustad Arifin Ilham juga tidak secara terbuka menunjukkan pilihannya di Pilpres. Namun jamaahnya sudah tahu kepada siapa Beliau akan memberi dukungan. Sikap hati-hati dalam memilih presiden wajar sebab Beliau memiliki umat yang sangat banyak.


Kapal Gus Nadir

Kiai NU juga tidak semua melabuhkan dukungan kepada Jokowi-Ma'ruf. KH Abdul Ghofur, KH Hasib Wahab Chasbullah, Gus Irfan, dan yang lain mendukung Prabowo-Sandi. Sedang Gus Sholah memilih netral.
Cendekiawan NU, Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, juga membuka pilihan calon presiden (capres)nya. Menurutnya tidaklah bijak untuk bersikap netral pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 ini. Gus Nadir memberi contoh bagaimana bersikap dalam memilih presiden yang akan memimpin negeri ini lima tahu ke depan.

"Mencermati perkembangan terakhir, kami berpandangan tidaklah bijak mengambil posisi netral di Pilpres 2019," kata dia di akun twitternya.

Dia mengatakan dirinya tidak mungkin berada dalam kapal yang selama ini selalu membid’ahkan amalan Aswaja dan mencaci para ulama pesantren. Serta membawa-bawa ideologi yang akan merusak NKRI.

Ia juga mengaku sulit bila harus berada di barisan mereka yang didukung oleh keluarga Cendana dan kekuatan Orde Baru. Apalagi selama ini telah mengatasnamakan pembela Islam, namun capres dan cawapresnya tidak punya tradisi dan rekam jejak keilmuan Islam.

Itu kata Gus Nadir.  Kita warga NU tidak harus sama pilihan dengan Beliau kecuali kita menemukan faktafakta yang sama pula soal apa yang disampaikan Gus Nadir. Warga NU bebas memilih siapa pun pemimpinnya di negeri ini. Boleh mengikuti Gus Nadir atau kiai lain, boleh tidak. Bahkan boleh golput bila memang tidak ada pilihan yang baik, meski golput ini selemahlemahnya sikap. Semua pilihan hak. Kewajiban kita adalah salat lima waktu, puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua atau pemimpin yang baik kuat dan jujur, bekerja keras untuk kesejahteraan keluarga, serta hal lain lain sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. 

Sekarang sejumlah orang termasuk kiai juga diminta turun gunung mencegah golput. Kalau bisa jangan golput. Pilihlah pemimpin secara mandiri. Bila perlu istikharah. Bukan karena manut kiai atau orang lain.

Pentingnya Pemimpin

Perlu diperhatikan hadits Nabi SAW ini soal betapa seriusnya Islam memandang persoalan kepemimpinan ini. Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Nabi  memberi perintah agar seorang Muslim memilih salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.

Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah sesaat pasca wafatnya Rasulullah SAW juga bukti lain betapa pentingnya arti kepemimpinan  dalam Islam. Saat itu jenazah Nabi  SAW  belum  dimakamkan, para sahabat lebih mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi.

Al-Quran juga sudah memberikan berbagai tuntunan dan petunjuk bagi kaum Muslimin agar tepat dalam memilih figur seorang pemimpin. Al-Quran dengan sangat benderang saat menjelaskan larangan memilih pemimpin nonMuslim, misalnya.

Ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin nonMuslim bagi kaum Muslimin telah menunjukkan derajat mutawattir alias disepakati, sehingga tidak muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan mereka. Jika pun ada beberapa pendapat yang berbeda yang membolehkan memilih pemimpin nonMuslim, itu umumnya difatwakan oleh generasi muta’akhirin saat ini, bukan dari kalangan ulama salaf. Karena itu, pemahaman demikian biasanya hanya dipandang   sebagai   pemahaman  yang   nyeleneh  (syadz)  di kalangan para ulama ahli fiqh, bahkan batil.

Memilih pemimpin harus jeli. Selain itu harus memilih pemimpin yang mengajak  bertakwa kepada Allah SWT. Harus kuat, mampu mengelola negara untuk kesejahteraan umat. Jujur. Adil. Bukan pemimpin yang menyesatkan. Pemimpin yang lemah membawa bangsa ini menuju kesesatan. Al Quran juga sudah memberi contoh soal ini.


"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mena’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (QS. al-Ahzab: 67).

Kesalahan dalam memilih pemimpin dapat menyebabkan penyesalan di kemudian hari. Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya. Kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Barangsiapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta (solusi atas) segala persoalan”.

Maka, jangan golput tapi pilihan harus tepat. Jangan hanya pasrah bongkokan kepada orang lain. Termasuk kepada tokoh agama. Memilih dengan cerdas adalah kuncinya.


(Gatot Susanto)


×
Berita Terbaru Update