Oleh Ulul Albab
Ketua Litbang DPP Amphuri
HAJIMAKBUL.COM - Diskursus tentang industri perjalanan ibadah umroh atau PPIU di Indonesia belakangan kerap diselimuti kritik. Ada yang menyebut kontribusinya kecil terhadap perekonomian, minim dampak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, hingga tidak memberi multiplier effect yang signifikan. Bahkan, kritik-kritik tersebut kadang dijadikan dasar untuk mendorong legalisasi skema umroh mandiri.
Logika semacam ini sesungguhnya menyesatkan. Sebab, sebelum menilai, perlu ada pembacaan objektif tentang sejauh mana industri umroh berkontribusi pada ekonomi nasional. Berikut saya ingin melemparkan kajian untuk mengajak buka-bukaan tentang dampak positip industri umroh pada perekonomian dan UMKM.
Kontribusi Perputaran Dana Umroh
Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah umroh terbesar kedua setelah Pakistan. Data Kementerian Agama mencatat bahwa setiap tahun rata-rata 1 sampai 1,4 juta jamaah Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Dari estimasi data tersebut mari kita buat estimasi perhitungan berapa uang yang berhasil dikumpulkan oleh industri ini.
Biaya Perjalanan Ibadah Umroh atau BPIU Referensi yang ditetapkan Kementerian Agama sebesar Rp23 juta per jamaah. Dari biaya referensi itu di lapangan paket yang ditawarkan biro perjalanan berkisar Rp25 juta sampai Rp 35 juta, tergantung fasilitas yang diberikan dan durasi lamanya paket.
Dengan asumsi jumlah jamaah dan variasi biaya paket tersebut, kita bisa menghitung perkiraan perputaran dana industri umroh, dengan mengelompokkannya menjadi 3 skenario harga atau biaya umroh, sebagaimana saya sampaikan pada tabel berikut:
Lihat Tabel Estimasi Perputaran & Belanja Domestik Industri Umroh (2023–2024)
Tabel ini merinci tiga Skenario, Jumlah Jamaah, Biaya Paket per Jamaah, Total Perputaran Industri , Proporsi Belanja Domestik (30%), Nilai Belanja Domestik, dan Potensi Serapan UMKM (65 sampai 70%)
Untuk skenario Konservatif dengan jumlah jamaah 1.000.000 biaya paket per jamaah Rp23 juta, total perputaran industri lebih kurang Rp23 triliun, proporsi belanja domestik (30%) lebih kurang Rp6,9 triliun, nilai belanja domestik lebih kurang Rp6,9 triliun, dan potensi serapan UMKM (65 sampai 70%) lebih kurang Rp4,5 triliun sampai Rp4,8 triliun.
Skenario Moderat dengan jumlah jamaah 1.200.000 biaya paket per jamaah Rp30 juta, total perputaran industri lebih kurang Rp36 triliun, proporsi belanja domestik lebih kurang Rp10,8 triliun, nilai belanja domestik lebih kurang Rp10,8 triliun, dan potensi serapan UMKM lebih kurang Rp7 triliun sampai Rp7,6 triliun.
Sementara untuk skenario Optimistis dengan jumlah jamaah 1.400.000, biaya paket per jamaah Rp35 juta, total perputaran industri lebih kurang Rp49 triliun, proporsi belanja domestik lebih kurang Rp14,7 triliun, nilai belanja domestik lebih kurang Rp14,7 triliun, dan potensi serapan UMKM lebih kurang Rp9,6 triliun sampai Rp10,3 triliun.
Sumber tabel ini adalah Estimasi penulis dari data Kemenag R I (2023), BPS, serta laporan asosiasi PPIU.
Data ini menunjukkan bahwa sekalipun sebagian biaya lari ke luar negeri yang meliputi tiket pesawat internasional, hotel, dan transportasi di Arab Saudi, tapi masih ada sekitar 30% dari total perputaran tetap tinggal di dalam negeri. Angka ini signifikan karena mencakup pengeluaran untuk paspor, visa, perlengkapan ibadah, koper, katering manasik, transportasi domestik, jasa asuransi, hingga layanan administrasi.
Dari belanja domestik tersebut, 65 sampai 70% diserap oleh UMKM, terutama sektor konveksi, katering, percetakan, souvenir, dan transportasi.
Menopang UMKM dan Lapangan Kerja
Kontribusi industri umroh terhadap UMKM sering kali tersembunyi. Padahal, setiap jamaah hampir selalu membeli perlengkapan ibadah di dalam negeri. Dari pakaian ihram, mukena, peci, hingga koper, mayoritas diproduksi oleh UMKM lokal.
Belum lagi jasa katering untuk manasik umroh di berbagai daerah, yang melibatkan usaha kecil kuliner.
Industri percetakan dan biro iklan juga ikut kebagian dari promosi paket umroh.
Selain itu, meskipun setiap PPIU rata-rata hanya mempekerjakan 5 sampai 10 staf inti, efek riil penyerapan tenaga kerja lebih luas karena melibatkan jaringan agen dan reseller di berbagai daerah.
Sistem pemasaran berbasis komunitas, yang sangat umum di industri umroh, telah membuka lapangan kerja informal bagi ribuan masyarakat di desa maupun kota. Dengan kata lain, multiplier effect industri umroh terhadap tenaga kerja jauh lebih besar daripada angka karyawan formal yang tercatat.
Kritik dan Logika yang Keliru
Sebagian kritik yang menyebut bahwa industri umroh hanya memperkaya segelintir pemilik biro memang tidak sepenuhnya salah. Ada kasus-kasus penyalahgunaan dana jamaah, pamer kemewahan, hingga kasus gagal berangkat. Namun, menjadikan anomali tersebut sebagai gambaran umum wajah dari industri jelas tidak adil.
Justru kritik tersebut sering digunakan untuk membenarkan ide legalisasi umroh mandiri, seakan-akan dengan logika tersebut maka masyarakat bisa berangkat tanpa perantara biro perjalanan resmi. Ujung-ujungnya meminta pemerintah untuk melegalkan skema umroh mandiri. Logika ini jelas menyesatkan. Mengapa?
Pertama, umroh mandiri berpotensi menimbulkan masalah keamanan, perlindungan jamaah, dan koordinasi layanan di Arab Saudi. Kedua, mengabaikan peran PPIU sama saja menutup mata terhadap kontribusinya yang nyata pada UMKM dan perekonomian domestik. Alih-alih melemahkan, yang lebih relevan adalah memperkuat regulasi dan tata kelola industri umroh agar semakin transparan dan profesional.
Potensi Masa Depan
Jika tren jamaah umroh terus meningkat, maka potensi perputaran ekonomi bisa semakin besar. Pemerintah bersama asosiasi PPIU dapat mendorong terciptanya ekosistem umroh yang berkelanjutan, misalnya dengan standardisasi produk perlengkapan ibadah lokal, pemberdayaan UMKM dalam rantai pasok, hingga pembiayaan syariah yang inklusif.
Dengan begitu, industri umroh bukan hanya soal perjalanan ibadah, tetapi juga motor dan lokomotif pertumbuhan ekonomi rakyat. Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa industri umroh di Indonesia memiliki kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menopang UMKM. (*)