Oleh H Zainal Abidin SE
(Ketua Dewan Kehormatan AMPHURI)
ARTI mandiri dalam sikap merujuk pada kemampuan seseorang untuk berdiri sendiri, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas tindakan dan kehidupannya tanpa tergantung pada orang lain. Sikap mandiri mencakup beberapa aspek, antara lain:
1. Kemandirian Emosional: Kemampuan untuk mengelola emosi dan tidak tergantung pada orang lain untuk mendapatkan dukungan emosional.
2. Pengambilan Keputusan: Mampu membuat keputusan secara mandiri berdasarkan pertimbangan sendiri, tanpa selalu meminta pendapat orang lain.
3. Tanggung Jawab: Menerima tanggung jawab atas tindakan dan akibatnya, serta tidak menyalahkan orang lain atas kesalahan yang terjadi.
4. Inisiatif: Kemauan untuk mengambil langkah-langkah dan melakukan tindakan tanpa perlu diarahkan atau dipandu oleh orang lain.
5. Kepercayaan Diri: Memiliki keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan.
Sikap mandiri penting dalam pengembangan pribadi, karena membantu individu menjadi lebih proaktif dan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Namun jika kata "mandiri" digunakan sebagai norma untuk tindakan hukum, dapat muncul konsekuensi negatif bagi individu atau kelompok yang rentan. Mereka mungkin mengalami tekanan untuk berfungsi secara mandiri, meskipun ketergantungan mereka pada orang lain sangat tinggi.
Hal ini dapat mengabaikan kebutuhan sosial dan dukungan yang diperlukan, serta menciptakan stigma bagi mereka yang tidak dapat memenuhi norma tersebut. Akibatnya, individu tersebut mungkin merasa terasing, kurang mendapatkan akses ke bantuan, dan terjebak dalam kondisi yang memperburuk situasi mereka, sehingga menghalangi upaya untuk mencapai kemandirian yang seimbang dan berkelanjutan.
Kata "mandiri" jelas memiliki konotasi yang positif, yang menggambarkan kemandirian dan otonomi. Namun, jika tidak dipahami dengan baik, bisa disalahartikan sebagai penolakan terhadap kolaborasi atau bantuan. Penting untuk memberikan konteks yang jelas ketika menggunakan istilah tersebut untuk mencegah penyalahgunaan atau pemahaman yang keliru. Edukasi dan komunikasi yang efektif dapat membantu mengatasi masalah ini.
Mandiri lebih pas bila dikaitkan terhadap individu, tapi seperti disebutkan di atas, akan menjadi masalah bila dikaitkan dengan individu lain, lembaga, atau Negara. Pasalnya, kepentingan antara individu mandiri dengan individu yang lain jelas bisa berbeda. Begitu pula kepentingan individu warga negara dengan Negara itu sendiri.
Ambil contoh, fenomena umrah atau haji mandiri yang sekarang digaungkan sejumlah pihak. Ibadah ini tentu bisa dilakukan secara mandiri, tapi lagi-lagi kembali pada bagaimana karakter individu tersebut hingga layak disebut mandiri. Ketika menyangkut ibadah haji dan umrah, sebenarnya seseorang tidak bisa disebut individu mandiri mengingat dia juga membawa nama bangsa dan Negara. Dia pergi sebagai warga Negara Indonesia. Identitas itu secara hukum tidak bisa dilepas sebab tidak akan mungkin bisa mengurus dokumen haji dan umrah tanpa identitas hukum tersebut.
Maka, individu mandiri tadi, dalam konteks ini, secara otomatis tidak bisa disebut mandiri sepenuhnya sebab tetap memakai identitas hukum sebagai WNI dan lain-lainnya. Saat pergi berumrah atau berhaji, dia tidak bisa seenaknya sebagai individu sebab juga membawa nama Negara Indonesia. Apalagi saat menghadapi masalah, tentu Negara juga akan turun tangan, meski seseorang itu pergi ke Arab Saudi mengaku sebagai pihak yang mandiri.
Dalam kaitan ini, fenomena umrah dan haji mandiri bisa jadi hanya istilah untuk marketing saja. Artinya, bila haji dan umrah lewat KBIH atau travel haji dan umrah dianggap mahal, lewat model mandiri bisa lebih murah. Yang unik, sejumlah pihak menawarkan jasa umrah mandiri. Ini aneh, bagaimana umrah atau haji disebut mandiri kalau tetap memakai jasa pihak lain. Karena itu, fenomena umrah atau haji mandiri, sebenarnya tidak lebih dari istilah marketing saja, untuk menarik minat masyarakat.
Yang mengkampanyekan umrah dan haji mandiri juga pihak-pihak tertentu dengan tujuan menjaring jamaah. Yang lebih unik, jamaah mandiri ini saat berada di tanah suci mereka menghadapi masalah sebab biayanya harus tambah bila ingin mengakses sejumlah layanan yang lebih untuk umrah atau haji. Padahal, umrah dan haji biaya murah---untuk menghindari kamuflase mandiri—sebenarnya hanya terkait layanan fasilitasnya saja. Semakin mahal jamaah akan mendapat layanan fasilitas yang baik.
Sementara bila ingin murah, tentu fasilitasnya seadanya saja, minimalis, khususnya untuk keperluan ibadah saja. Tentu ini sudah cukup sebab sejatinya ibadah haji dan umrah memang seperti itu. Hal itu lantaran banyak jamaah menuntut lebih sehingga biayanya bertambah di mana saat dibandingkan dengan jamaah yang berbiaya murah terlihat kontras. Dari sini muncul istilah mandiri. Dalam kaitan ini sangat mungkin terjadi permainan, manipulasi, penipuan, dan sejenisnya.
Melihat fakta ini, perlu diperhatikan ketika menempatkan kata "mandiri" pada pasal-pasal dalam amandemen UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Sebab bila diletakkan pada "pasal karet", hal itu berpotensi memicu hal yang tidak valid yang patut diperhatikan.
Berikut adalah beberapa poin yang bisa dipertimbangkan terkait dengan pasal-pasal tersebut:
1. Kekhawatiran Terhadap Penipuan
Dengan adanya ketentuan yang mewajibkan penggunaan lembaga yang berizin, ada risiko bahwa masyarakat bisa jadi tidak sepenuhnya memahami mana lembaga yang sah dan mana yang tidak. Jika sosialisasi dan verifikasi terhadap lembaga tidak dilakukan secara efektif, masyarakat bisa terjebak dalam penipuan.
2. Pentingnya Transparansi: Agar pengguna jasa haji dan umrah dapat terhindar dari penipuan, penting bagi pemerintah untuk memastikan adanya transparansi informasi mengenai lembaga yang berizin. Misalnya, menyediakan daftar lembaga yang terdaftar dan memudahkan akses bagi masyarakat untuk memeriksa status izin lembaga.
3. Sanksi dan Penegakan Hukum: Penting juga untuk mempertegas sanksi bagi lembaga atau individu yang melanggar ketentuan tersebut. Selain itu, pengawasan yang ketat harus dilaksanakan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang ada.
4. Keterlibatan Pengguna dalam Proses: Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka dalam menggunakan jasa haji dan umrah juga bisa menjadi langkah preventif. Masyarakat perlu diinformasikan tentang apa yang harus dipastikan sebelum memilih lembaga penyelenggara.
5. Aspek Mandiri: Mengenai ketentuan untuk melakukan umrah atau haji secara mandiri. Hal ini penting untuk melihat kondisi riil dari istilah tersebut. Apakah benar, haji dan umrah mandiri itu bisa dilakukan? Caranya seperti apa saja?
Untuk itu, baik DPR maupun Pemerintah perlu menginvestigasinya, plus minusnya, guna memberi panduan pada masyarakat.
Dalam kaitan ini, baik Pemerintah maupun DPR harus jujur pada masyarakat. Ini soal trust saja. Bila ternyata umrah dan haji mandiri tidak bisa dilakukan, atau bisa dilakukan dengan risiko sangat besar, masyarakat akan secara otomatis memilih jalan legal untuk berhaji atau berumrah. Semoga!