HAJIMAKBUL.COM - Ketua Dewan Kehormatan DPP AMPHURI H. Zainal Abidin SE mendukung usulan Komisi Nasional (Komnas) Haji yang meminta pemerintah dan DPR sebaiknya melarang praktik umrah mandiri. Hal ini perlu ditegaskan demi melindungi calon jamaah dan pelaku usaha di sektor tersebut.
"Kebijakan publik haruslah lebih berpihak kepada kepentingan rakyat di atas kepentingan pengusaha. Mari kita lihat lebih komprehensif terkait legalisasi umrah mandiri berbasis hak asasi dan karena kemudahan dan kebijakan regulasi di Saudi Arabia yang dikenal dengan aplikasi Nusuk. Pertanyaannya adalah posisi Indonesia dalam hal ini sebagai apa?" kata Zainal Abidin kepada DutaIndonesia.com.
Zainal mengajak mencermati hal-hal berikut ini: Pertama, Arab Saudi sebagai host country. Hanya mengatur izin masuk.
Kedua, Indonesia sebagai sendiing country. Kewajibannya adalah melindungi rakyatnya di luar negeri, sesuai konstitusi pasal 28 D, dan 28 J, UUD 1945.
Prof Ulul Albab, Ketua Litbang Amphuri, menjelaskan, bahwa melonggarkan aturan di Indonesia hanya karena alasan bahwa Saudi telah memberikan kemudahan untuk memasuki negaranya. "Justru bisa melanggar mandat perlindungan negara terhadap warga negaranya," katanya.
Ketiga, dia menegaskan wajar bagi Arab Saudi memberikan kelonggaran untuk berkunjung ke Saudi Arabia, karena secara ekonomi pasti menguntungkan. Akan tetapi Indonesia harus memandangnya sebagai keadaan yang berpotensi resiko tinggi sebagai sending coutry bila melihat UU Cipta Kerja No. 6 tahun 2023. Sehingga sektor usaha ini oleh UU tersebut dinyatakan sebagai usaha berisiko tinggi.
"Antara lain rentan penipuan, potensi bermasalah di luar negeri bagi sebagian warga yang tidak memiliki akses, tidak berpengetahuan cukup, tidak memahami prosedur untuk mengatasi masalah di luar negeri. Bahwa umrah mandiri berisiko tinggi terhadap keamanan jemaah, potensi penipuan dan kegagalan keberangkatan akan lebih masif. Karena melegalkan umrah mandiri sama halnya merobohkan pagar perlindungan yang menjadi kewajiban bagi negara untuk melindungi jemaah. Yang akhirnya menimbulkan beban kepada negara yang seharusnya negara hadir untuk melindungi rakyat dari berbagai kemungkinan sebelum resiko itu terjadi," katanya.
Jadi, kata dia memaparkan hal keempat, pengaturan yang mengharuskan penyelenggaraaan melalui PPIU atau pemerintah dalam keadaan darurat adalah bentuk perlindungan negara terhadap hak beribadah warga negara, dan jangan dipandang sebagai pembatasan bagi rakyatnya untuk beribadah. Akan tetapi jika keadaan normal, peran pemerintah jangan menjadi sebagai penyelenggara perjalanan umrah, karena resiko nilai tukar Rupiah terhadap Saudi Real/ USD yang sangat rentan berpotensi terjadinya kerugian yg tinggi bagi pemerintah.
"Kelima, hak warga negara untuk beribadah, termasuk melaksanakan ibadah umrah, memang dijamin oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Namun pelaksanaan hak tersebut tunduk pada pembatasan yang diatur dengan Undang-Undang yang menjamin penghormatan hak orang lain, keamanan, ketertiban umum dan nilai-nilai moral, agama dan memenuhi tuntutan yang adil ; (pasal 28 J ayat 2)," katanya.
Keenam soal legalisasi umrah mandiri akan meruntuhkan ekosistem ekonomi ibadah haji dan umrah di dalam negeri. Karena itu masuknya market place asing harus difilter dengan kebijakan pemerintah untuk melindungi kedaulatan ekonomi dalam negeri.
"Ketujuh, jangan lupa, bahwa lahirnya Undang-Undang haji dan Umrah adalah dilatarbelakangi maraknya perjalanan Ibadah umrah sebagai modus untuk menjadi TKI Ilegal di Saudi Arabia yang berakibat masifnya human trafficking, yang dikenal dengan istilah Umrah sandal jepit. Dan terbukti dengan UU penyelenggaraan haji dan umrah secara gradual umrah dengan modus tsb hilang," katanya.
Kedelapan, bahwa umrah mandiri atau backpacker yang diviralkan dan diusulkan oleh DPR Komisi VIII sebagai hak asasi setiap individu adalah ilusi yang menyesatkan.
"Kesimpulan: agar negara dapat memberikan perlindungan yang optimal terhadap Jemaah Umrah maupun Haji, harus diteakdown semua terminologi Mandiri dalam RUU atau amandemen UU No 8 th 2019 tentang penyelenggaraan ibadah Haji dan Umrah," ujarnya.
Sebelumnya Komisi Nasional (Komnas) Haji berpandangan, pemerintah dan DPR sebaiknya melarang praktik umrah mandiri. Hal ini perlu ditegaskan demi melindungi calon jamaah dan pelaku usaha di sektor tersebut.
"Kalau kemudian pemerintah dan DPR ingin melindungi ekosistem dan pelaku usaha, melindungi jamaah, idealnya adalah umrah mandiri itu tidak dibuka pintunya," ujar Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj dalam diskusi bertajuk "Revisi UU Haji Demi Meningkatkan Kualitas Pelayanan dan Pengelolaan Ibadah Haji" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/8/2025) dikutip dari republika.co.id.
Mustolih mengatakan, ada sejumlah risiko apabila umrah mandiri diizinkan. Misalnya, jamaah umrah yang berangkat tanpa biro resmi itu berpotensi tersesat di Arab Saudi. Bahkan, mereka berpotensi menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). (gas)