Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Taushiyah Imam Shamsi Ali: Rasmu bukan jaminan imanmu (2)

Tuesday, February 26, 2019 | 06:23 WIB Last Updated 2019-02-26T14:55:34Z
Oleh Imam Shamsi Ali*

HAJIMAKBUL.COM - Kita kenal bahwa Saudi memang menganut paham agama wahabisme. Sebuah paham yang awalnya bertujuan membasmi penyelewengan riligius (syirik dan khurafat) yang marak ketika itu. Sayang di kemudian hari paham itu menjadi kendaraan bagi pemahaman agama yang blunder di abad modern.


Penafsiran agama wahabi atau pemahaman agama yang diakui sebagai pemahaman murni (puritanisme) saat ini justeru menjadi kendaraan gaya hidup materialisme dan hedonisme. Sebuah paradoks nyata. Dan khawatirnya ini pula yang sedang terlihat di tanah kelahiran baginda Rasul SAW saat ini.

Setelah mengalami ragam kritikan atas “rigiditas”, baik dalam pandangan agama maupun politiknya, saat ini Saudi ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kini Saudi sudah mengalami reformasi.

Tapi reformasi itu ternyata juga mengalami kebablasan. Mentalitas teokratis Yang bersifat hitam putih tidak siap menerima lingkungan “kebebasan”. Akibatnya terjadi penangkapan masif mereka yang dianggap berseberangan dengan penguasa.

Peristiwa mutakhir adalah kematian atau tepatnya pembunuhan secara sadis seorang Wartawan senior, Jamal Kashogy. Diyakini oleh banyak kalangan bahwa pembunuhan itu tidak dapat dilepaskan dari kekritisannya kepada pemerintahan Saudi.

Kebebasan yang diberikan di satu pihak kepada kaum wanita untuk mengendarai mobil ternyata dapat dicurigai sebagai “taqiyah” semata untuk menutupi ragam pelanggaran HAM. Ribuan ulama dan aktifis saat ini sedang dipenjarakan di Saudi Arabia.

Mungkin yang paling menyayat “hati iman” adalah kenyataan bahwa Saudi Arabia memilih bergandengan tangan dengan Donald Trump. Menutup mata dari kenyataan bahwa secara domestik Donald Trump memperlakukan kebijakan anti Islam dan Muslim.

Tentu yang terpenting adalah diamnya Saudi sebagai negara yang harusnya masih punya kharisma di Timur Tengah terhadap kebijakan Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.

Bahkan Saudi ada di baris terdepan menyerang dua wanita muda Muslimah yang baru terpilih menjadi anggota Kongres Amerika, Ilhan dan Rashida. Keduanya oleh Saudi dituduh sabagai anggota “Ikhwanul Muslimun”. Entah siapa sponsor di balik tuduhan itu. Yang pasti sangat menggerahkan umat Islam Amerika.

Juga baru dua hari lalu Pangeran MBS justeru membela China dalam kebijakannya yang refressif terhadap warga Muslim Uighur. Bahkan ikut memberikan pembenaran bahwa itu adalah hak China untuk memberantas radikalisme di negara mereka.

Rasmu bukan jaminan imanmu

Paradox lainnya adalah adanya “mental state” (situasi mental) yang tidak jujur dalam menyikapi dunia lain, termasuk dunia Islam lainnya. Diakui atau tidak, kerap teman-teman Timur Tengah merasa lebih Islami karena dasar ras dan etnis.

Saya masih teringat beberapa tahun lalu di saat melaksanakan ibadah haji bersama rombongan haji New York USA. Di suatu sore saya duduk di mesjid Nabawi selepas Asar sambil membaca dzikir dan tasbih. Tiba-tiba saya didatangi oleh seorang Arab, dan terjadilah dialog berikut:

Arab: excuse me. From USA?
Saya: Yes I am
Arab: Bad, you're bad. USA is bad!
Saya: Why? What do you mean?
Arab: America is a kafir country. And you leave in kafir country!

Terus terang saya agak tersinggung dengan tuduhan itu. Soalnya saya tahu kalau banyak orang Amerika yang Muslim dan Islamnya belum tentu lebih kurang dari orang Arab. Bahkan saya tahu betapa banyak orang Amerika, asli orang Amerika bahkan muallaf, jauh lebih hebat komitmen agamanya dari orang-orang Arab yang juga banyak saya kenal.

Maka jeneralisasi seperti itu, bahwa Amerika dan semua orang Amerika jahat tentu sangat tidak adil. Sehingga hati serasa memberontak. Karakter keras saya tiba-tiba menaik. Saya menatap orang yang berjubah dan berjanggut lebat itu dan bertanya:

Saya: How about you? Where are you from?
Arab: I am from here.
Saya: a Saudi?
Arab: yes from the City of Rasul (Madinah)

Tanpa terpikir, spontan saya katakan sama dia: "sorry but I am not sure if you have Muhammad blood. Possibly in you Abu Lahab blood is running”.

Dengan itu saya menyampaikan bahwa tidak ada jaminan jika imannya lebih dari bangsa lain hanya karena ras Arabnya. Darah Arabmu tidak menambah atau mengurangi iman dan Islammu.

Saya ingin twgaskan bahwa rasmu tidak menentukan imanmu. Yang menentukan kehebatan dan kemuliaanmu di mata Tuhan hanya “iman dan amal”. Keduanya itulah yang terangkum dalam kata “taqwa”.

Orang yang bisa bahasa Inggris dengan cukup baik itu hanya menatap saya agak geram, lalu keluar meninggalkan saya di masjid.

Saya kemudian ikut keluar tidak jauh di belakang dia. Sambil menelusuri keramaian, dia menyeberang jalan dan ikut di sebuah antrian panjang.

Saya lihat dari jauh kira-kita itu antrian apa? Ternyata itu adalah antrian orang-orang yang ingin menikmati kopi "starbuck" di sore hari. Sebuah perusahaan milik Yahudi yang setiap tahunnya memberikan keuntunganya secara masif kepada negara Israel.

Dalam hati saya berbisik: "sungguh realita paradox. Benci tapi rindu"!


New York, 24 Pebruari 2019


* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation 




PESAN IMAM SHAMSI ALI:



Saudaraku yang Allah muliakan. Jadilah bagian dari usaha dakwah kita di Amerika melalui pembangunan pondok pesantren pertama di bumi Amerika. Untuk donasi, dapat dilakukan melalui website: www.nusantaraboardingschool.com (klik support). 



Atau transfer rekening: 

Rek rupiah : 1240000018185
An. inka nusantara madani
Bank Mandiri


  1. Jazakumullah khaer!
×
Berita Terbaru Update