Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Terobosan Kemenag: Sistem E-Hajj hingga Jamaah Diberi GPS

Monday, September 29, 2014 | 22:34 WIB Last Updated 2014-09-29T15:34:33Z



Menteri Agama mencermati banyaknya jamaah haji yang tersesat di Tanah Suci. Saat 9 hari salat Arbain di Masjid Nabawi saja tercatat ada  1.000 lebih jamaah tersesat. Karena itu Menag memandang perlu membuat terobosan dengan menerapkan  gelang identitas ber-GPS dan terobosan lain dengan adanya sistem e-hajj.

BAGI Menag gelang GPS cukup menarik. Penerapannya juga tidak sulit untuk memantau pergerakan jamaah haji. Caranya pada  gelang identitas jamaah haji akan diisi dengan chip khusus GPS. "Semua data bisa kita tanam di situ," kata Lukman saat mengobrol santai dengan wartawan di acara Coffee Morning di Zam-zam Tower, Makkah, Senin (29/9).
Dengan memanfaatkan teknologi, petugas bisa memantau pergerakan jamaah haji. Sehingga bila ada jamaah yang akan tersesat bisa cepat diberi pertolongan. "Artinya bisa memantau kalau ada yang tersesat bisa dilacak," ujarnya.
Untuk menerapkan teknologi ini, Lukman berpandangan, tak perlu modal besar. Cukup menggandeng perusahaan telekomunikasi saja untuk merealisasikan gagasan tersebut.
"Tinggal diberi space untuk logo mereka pasti investor mau. Karena itu bukan sesuatu yang mahal. Itu memudahkan petugas memantau keberadaan jamaah kita," kata Lukman.
Saat ini baru Malaysia yang menerapkan gelang tersebut namun baru pada tahap petugas haji. Menag berharap ke depan untuk Indonesia bisa segera diterapkan."Kita ketinggalan dong. Ini perlu diterapkan ke depan," ujarnya.
Menag juga menyebut akan ada perubahan revolusioner dalam penyelenggaraan haji ke depan. Dia mencatat setidaknya ada dua perubahan besar. Pertama penerapan e-hajj. Saat ini Pemerintah Arab Saudi sudah melakukan pilot project e-hajj. Selanjutnya  tahun depan sudah dipakai semua negara.
"Sistem haji secara elektronik, semua seragam, sistematis, dan diterapkan untuk semua negara. Semua terdata secara elektronik. Dan itu tidak hanya berlaku untuk Indonesia tapi seluruh dunia. Karena e-hajj ini maka sistem penyelenggaraan haji di Indonesia harus mengalami perubahan ini," kata Lukman.
Perubahan besar juga akan dilakukan, misalnya jaminan akomodasi, katering dan kesehatan jamaah akan ditingkatkan. Katering misalnya jamaah hanya mendapatkan living cost 1.500 riyal selama di Makkah. "Ke depan di Makkah harus jelas, seperti kalau di Madinah, Arafah, dan Mina. Belum lagi pemondokan dan seterusnya," lanjut Lukman.
Perubahan penting kedua, segera disahkan RUU Pengelolaan Keuangan Haji. Undang-undang ini memisahkan penyelenggaraan haji di Kemenag dan pembiayaan ibadah haji di badan khusus yang ter‎pisah dari Kemenag.
"Jadi itu perubahan yang mendasar juga. Karena pengelolaan haji yang dilakukan sendiri jamaah tidak membayar ke rekening menteri tapi rekening sendiri. Kalau dulu sifatnya dana titipan sekarang sifatnya bukan titipan lagi tapi sistemnya tabungan bagi jamaah. Jadi kalau ada jasa bank ya kembali ke masing-masing jamaah sehingga tidak menimbulkan fitnah dan lainnya," kata Menag.
Oleh karenanya evaluasi itu menjadi penting. Lukman berkomitmen melakukan evaluasi mendalam dari pelaksanaan haji tahun ini sebagai bahan melakukan perubahan besar tahun depan.
Misalnya pemondokan, kita tidak ingin di luar markaziyah seperti kasus yang terjadi di Madinah. Ke depan Madinah harus sama dengan Makkah terkait kontrak per pemondokan. "Jadi kita tahu persis di Madinah hotelnya di mana. Konsekuensinya harga bisa kita lihat yang penting ada kepastian jamaah," ungkapnya.
"Jangan seperti tahun lalu, saya ingin kontraknya harus tiga tahun atau lima tahun jangka panjang. DPR-nya kita yakinkan. Ini juga memudahkan teman-teman tim perumahan untuk mencari kondisi yang bagus untuk jangka panjang. Beberapa pemilik perumahan lebih suka dikontrak jangka panjang," tambah Lukman.‎
Transparan dan Berkeadilan

Di luar dua hal itu Lukman juga menekankan keinginannya menjadikan penyelenggaraan haji yang transparan dan berkeadilan. Berkeadilan dalam arti memberikan kuota haji kepada mereka yang memang berhak. Tidak ada kongkalikong. ‎"Nah transparansi itu seperti Siskohat, harus dibuka. Jadi setiap orang bisa mengakses seperti media online. Ini bagian transparansi agar tidak ada mafia," katanya.
Lukman akan melakukan koordinasi dengan pemerintah Arab Saudi. Antara lain membahas jumlah kuota jamaah haji Indonesia yang masih kurang. "Kuota normal pun seharusnya sudah harus ditambah. Cara lain kita harus memanfaatkan sisa kuota yang tidak terserap habis negara lain seperti Vietnam, nah sisa-sisa itu harus kita manfaatkan," ujarnya.
" Jamaah risiko tinggi tahun ini juga paling banyak. Hasil rapat koordinasi kemarin di BPHI semakin banyak risti semakin menjadi tanggungan bagi tim kesehatan kita dan petugas lain. Karena itu bagaimana supaya lebih tegas agar jamaah haji istitoah jadi tidak hanya mampu secara materi tapi juga fisik," paparnya.

Baru Tiba, Ingin Pulang

Sementara itu Otoritas Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, telah menutup penerbangan haji sejak pukul 00.00 WAS, Senin 29 September 2014. Seluruh jamaah calon haji reguler sebanyak 154.467 sudah masuk ke tanah suci, Makkah, dan bersiap menjalani wukuf di Padang Arafah, 3 Oktober nanti.
Kelompok terbang terakhir dari tanah air yang masuk ke tanah suci merupakan kelompok sapu jagat. Sebagian besar sudah berumur di atas 60 tahun dan berisiko tinggi. Perjalanan panjang, dehidrasi dan kelelahan kerap membuat jamaah lansia ini mengalami dimensia.
Begitu mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi, tidak sedikit jemaah lansia yang mengalami disorientasi. Merasa di rumah saudaranya, dan ingin pulang kembali ke tanah air. Ada yang merasa tidak memiliki teman sehingga keinginan pulang sangat kuat. "Aku ini arep mulih (ingin pulang) ke rumahku, sama bojoku (istriku)," kata Samsuri bin Suradi dari Kloter 71 Embarkasi Solo, Minggu malam.
Samsuri yang sudah berumur 93 tahun sebetulnya sudah sulit berjalan, namun ia kekeuh mengangkat kopernya dan menyuruh sang istri segera bersiap pulang. "Mbah di sini saja Mbah, pulangnya besok ya, Mbah kan mau naik haji," kata seorang petugas merayu Samsuri.
Namun Samsuri menolak segala penjelasan petugas, dan tidak berhenti-henti menyuruh, Mbah Surati, yang tampak tabah pulang ke rumah. Samsuri akhirnya dibawa ke Klinik Oktagon di Bandara King Abdul Aziz untuk mendapat suntikan penenang.
Samsuri sempat menjadi pusat perhatian jamaah juga karena  tidak henti-hentinya dia memarahi sang istri, Surati. Yang tasnya harus dipegang-lah, yang tidak boleh dekat-dekat dengan petugas-lah, ada saja yang membuatnya tidak berhenti mengomel. Namun Surati tampak sabar menghadapi suaminya. "Pak...pak..., sabar tho pak. Istighfar, ampun gusti Allah," kata Surati berulang kali mengingatkan suaminya.
Bahkan upaya dokter Rahmat dari Klinik Oktagon Bandara menenangkan Samsuri dengan memijiti pundaknya tidak membuahkan hasil. Samsuri tetap saja marah-marah sampai akhirnya ia dibawa ke Klinik Oktagon untuk mendapatkan suntikan penenang. Ia baru diperkenankan ke luar klinik setelah rombongannya, termasuk sang istri, masuk ke dalam bus yang baru bergerak ke Makkah pukul 21.00 WAS.
Ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya Mbah Siman yang usianya sudah di atas 70 tahun juga terlihat asyik menyeret tasnya ke luar dari plaza bandara tempat jamaah beristirahat.
Jamaah calon haji kloter 63 embarkasi Solo yang mendarat Kamis 25 September 2014, ini mengatakan ingin pulang ke rumahnya. "Aku ini mau pulang. Aku baru ambil tas dari rumah saudaraku, sekarang mau pulang," kata Siman.
Siman pun diminta petugas beristirahat dan diberi minum air putih supaya tenang. Petugas meminta Siman bersabar menunggu teman-temannya. "Aku sendiri kok nggak sama teman-temanku, aku mau pulang," kata Siman lagi yang akhirnya dijaga jamaah lain agar tidak pergi jauh dari plaza.
Menurut petugas Sektor I Daerah Kerja Jeddah, Ainur Rofiq, sepanjang melayani jamaah, hampir dipastikan ada saja yang minta pulang. "Terutama yang sudah sepuh, karena kelelahan terbang 9-10 jam ke sini," kata Rofiq.
Dia menuturkan, pernah ada jamaah yang menyendiri. Jamaah wanita ini tidak mau bergabung dengan rombongannya. Bahkan saat akan naik bus, calon haji ini tetap termenung di kursinya. "Aku mau pulang saja, aku nggak kenal orang-orang di rombonganku," kata si ibu yang merasa tidak memiliki teman di rombongannya.
Setelah dipaksa si ibu akhirnya bersedia naik ke dalam bus. Namun dia minta syarat, tidak mau ada jamaah lain yang duduk di sampingnya. Permintaannya yang susah-susah gampang ini akhirnya dituruti.
Menurut Kepala Seksi Kesehatan Daker Jeddah dr Lucky Tjahjono, kelelahan dan kekurangan asupan minum memang bisa memicu jamaah haji yang sudah tua menjadi dimensia. Di klinik Oktagon, rata-rata jamaah yang dirawat jalan merupakan jamaah tua yang kelelahan dan mengalami dehidrasi.
Sebelumnya Kepala Bidang Kesehatan PPIH dokter Fidiansyah menuturkan bahwa, pada kondisi dehidrasi parah, bisa memicu gangguan elektrolit sehingga jamaah bisa hilang kesadaran, bingung dan disorientasi arah (tersesat), pingsan sampai kematian. Karenanya selain bekal minum, tim kesehatan juga akan memberikan arahan kepada jamaah agar melakukan sejumlah tindakan agar terhindar dari dehidrasi.
Kedatangan jamaah kloter terakhir nyaris bersamaan, sehingga petugas haji harus pontang-panting dari satu plaza ke plaza lain karena minimnya tenaga. Belum lagi mereka harus konsentrasi menangani jamaah-jemaah di kelompok terbang 'sapu jagat'.
Kelompok terbang (kloter) sapu jagat ini merupakan kloter 'pembersihan'. Di kloter ini tergabung jamaah-jemaah dari berbagai daerah. Kloter 71 Embarkasi Solo, misalnya. Calon haji yang terbang di hari terakhir ini terdiri dari berbagai daerah di Jawa Tengah, mulai dari Semarang, Solo, dan kota-kota lainnya. Umumnya mereka merupakan jamaah lansia yang sengaja dimajukan keberangkatannya. Namun tidak sedikit jamaah yang sebelum keberangkatannya mengalami masalah kesehatan dan harus dirawat di rumah sakit. Sehingga ketika kondisinya memungkinkan, barulah mereka diberangkatkan saat kloter terakhir.
"Mereka dikumpulkan jadi satu dalam satu kloter, biasanya memang begitu di hari-hari terakhir," kata Kepala Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Daerah Kerja Jeddah, Ahmad Abdullah Yunus, di Bandara King Abdul Aziz, Minggu malam.

Parade Kursi Roda

Pantauan di Bandara Jeddah,  kloter ini memang tidak biasa. Nyaris sebagian besar jamaahnya sudah tua dan berisiko tinggi. Bahkan tidak sedikit yang usainya sudah menginjak angka 90. Setidaknya di kloter ini, ada sekitar 15 jamaah yang menggunakan kursi roda. Sepanjang kedatangan jemaah, mulai dari gelombang pertama (1-14 September) dan gelombang kedua (15-28 September), baru kali ini ada belasan jamaah menggunakan kursi roda.
Biasanya rata-rata satu kloter hanya 2-3 jamaah yang menggunakan kursi roda karena kondisi fisiknya tidak memungkinkan ia berjalan, atau memang kesehatannya terganggu. "Ini belum seberapa, tahun lalu dari Aceh, kloter terakhir bisa 20 jamaah yang pakai kursi roda," kata pekerja musiman, Nur Holis, yang direkrut PPIH.
Hampir di setiap sudut plaza E1, tempat mereka beristirahat, terlihat jamaah dengan kursi roda. Ada yang terlihat sakit, ada juga yang memang sudah sepuh. Jumlahnya seimbang antara jamaah laki-laki dan perempuan. Ada pasangan suami istri, ada yang ditemani anaknya sebagai pendamping, ada pula yang berhaji sendirian tanpa keluarga.
Biasanya mereka dititipkan ke rekan serombongan atau ketua rombongannya sendiri. Tingkah polahnya pun macam-macam. Pasangan Sakroni Usman Abdul Karim (91) dan Istiqomah Ihsan Makruf (84), misalnya.
Hingga usia yang tidak muda lagi, pasangan ini terlihat saling mengasihi. Walaupun sama-sama duduk di kursi roda, keduanya tidak ingin berjauhan. Kendati pendengarannya sudah mulai berkurang, Sakroni selalu berkata lembut kepada istrinya. Begitu pula istrinya terhadap sang suami. Makan kurma pun mereka bersama-sama.
Para lansia pengguna kursi roda dan berisiko tinggi tersebut sengaja dikumpulkan dalam satu rombongan dan bus. Sebelum masuk bus, parade calon haji lansia berkursi roda ini sempat menjadi pusat perhatian jamaah dari negara lain.
Bahkan pekerja (umal) asal Mesir pun bingung harus menempatkan kursi roda mereka di mana. Mereka akhirnya memutuskan menaruh belasan kursi roda di atap mobil yang harusnya untuk tas tenteng. Karena keterbatasan tempat, tas tenteng jamaah terpaksa ditaruh di dalam bus bersama dengan pemiliknya.

"Memang seperti ini biasanya jamaah-jemaah dari embarkasi Solo, kebanyakan sudah sepuh. Karena kultur, mereka biasanya baru berhaji saat usia lanjut dan berisiko tinggi," kata dokter Rahmat. * vvn, wis

×
Berita Terbaru Update