![]() |
Ustadz Sugeng Prasetya (kanan) |
Selama musim haji 2025, mahasiswa di sejumlah universitas di Arab Saudi mendapat tugas memberi taushiyah kepada para jamaah haji Indonesia. Salah satu mahasiswa itu adalah Ustadz Sugeng Prasetya. Mahasiswa dari Al Qassim University ini merupakan santri asal Klaten, Jawa Tengah.
Oleh Gatot Susanto
SAAT memberi taushiyah usai salat Ashar di Masjid Hotel Manazil Ishra' atau hotel nomor 1006 sektor 10 kawasan Misfalah Kota Makkah, Arab Saudi, Ustadz Sugeng Prasetya banyak ditanya oleh jamaah haji. Salah satunya soal pahala salat di masjid hotel dan Masjidil Haram.
Jamaah haji tidak bisa selalu salat di Masjidil Haram lantaran ada sejumlah kendala, seperti usia tua, jaraknya cukup jauh, dan tidak selalu ada bus sholawat yang memang disediakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengantar jamaah ke masjid paling suci di dunia itu.
Bahkan, menjelang Wukuf di Arafah hingga momen lempar jumrah di Mina, operasional bus sholawat dihentikan sementara. Tujuannya agar jamaah salat di masjid hotel atau masjid di kampung sekitar hotel, mengingat mereka harus lebih banyak istirahat agar stamina terjaga untuk persiapan wukuf di Arafah, mabid di Muzdalifah, serta lempar jumrah di Mina atau biasa dikenal sebagai Armuzna.
Selama Armuzna, jamaah memang butuh energi ekstra banyak sebab kegiatan fisiknya cukup melelahkan. Belum lagi bila ada masalah, seperti keterlambatan bus, sehingga mereka harus berjalan kaki cukup jauh.
Terkait hal itu, Ustadz Sugeng Prasetya pun menjawab dengan "diplomatis". Dia membenarkan ada fatwa ulama. termasuk ulama yang menjadi gurunya di Al Qassim University, bahwa pahala salat di tanah Al Haram semua sama. Tidak hanya di Masjidil Haram, tapi semua wilayah tanah Haram pahalanya setara 100 ribu kali lipat ibadah di masjid atau tempat lain.
"Tapi bapak-bapak haji semua sudah berada di Kota Makkah Al Mukarromah, sehingga harus tetap diusahakan agar bisa salat di Masjidil Haram. Maksud saya, tetap lebih afdol ibadah di Masjidil Haram sebab bapak-bapak semua sudah ada di sini, ketimbang ibadah di tempat lain, meski masih wilayah tanah Haram. Namun, kalau benar-benar ada halangan seperti tadi, tidak apa-apa salat di masjid hotel sebab pahalanya sama," katanya.
Usai memberi taushiyah, kepada wartawan Hajimakbul.com, Gatot Susanto, yang juga tengah berhaji, Ustadz Sugeng Prasetya mengaku baru lulus dari Al Qassim University tahun 2024 lalu. Kampus utama tempatnya kuliah berada di ibukota Provinsi Al Qassim, Buraidah, sedang kampus cabangnya ada di sejumlah kota lain di provinsi ini. Jarak antara Buraidah ibukota Al Qassim yang berada di bagian utara tengah Arab Saudi dengan Kota Makkah sekitar 943 km.
Ustadz Sugeng mendapat tugas bersama sejumlah mahasiswa dari sejumlah kampus lain di Arab Saudi untuk memberi bimbingan rohani kepada jamaah haji, termasuk jamaah haji asal Indonesia. Namun mereka mendapat tugas dari sebuah yayasan di Arab Saudi, bukan dari kampusnya.
"Saya bukan ditugaskan oleh kampus, tapi oleh sebuah yayasan untuk memberi bimbingan rohani kepada jamaah haji. Selain dari Qassim University, ada juga dari kampus lain, seperti dari Universitas Islam Madinah dan kampus lain. Kami bertemu di Makkah, lalu menyebar ke sejumlah hotel tempat para jamaah haji," ujarnya.
Selain Al Qassim, ada Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Kota Riyadh, Universitas Islam Madinah, Universitas Jazan, Universitas Taibah di Madinah, dan Universitas Tabuk. Al Qassim sendiri dikenal karena melimpahnya hasil pertanian dan air tanah yang banyak. Hasil pertanian seperti kurma dan sayuran terbaik di Kerajaan Arab Saudi berasal dari daerah ini. Kota-kota utama di kawasan ini adalah Buraidah sebagai kota terbesar, Onaizah, Maznib, Bukeiriyah, Badayea, Almaznib, Alkhabra, Riyadh Alkhabra, Alasyah, Oklat Alsukoor, Dhariah, dan Oyoon Aljawa.
Ustadz Sugeng memilih universitas ini karena Universitas Al Qassim sudah ada hubungan khusus dengan pondok pesantrennya di Tanah Air. Sebagian kampus memang tidak merekrut mahasiswa secara terbuka, melainkan karena hubungan khusus antara pengelola kampus dengan kiai pondok pesantren di Indonesia.
Ustadz Sugeng cukup lama mondok. Lulus SMPN Klaten sebenarnya hendak mondok tapi dinilai terlalu kecil sehingga baru ketika hendak masuk sekolah lanjutan tingkat atas atau SLTA tahun 2009 dia mondok di Ponpes Al Hikmah Gunung Kidul DIY.
"Ustad saya lulusan Gontor, kami banyak diberi cerita soal dunia pondok sehingga bersemangat belajar. Tahun 2009 masuk lulus tahun 2012 tapi saya diminta Pak Kiai mengabdi dulu di pondok. Padahal saat itu banyak teman-teman yang mendapat beasiswa, seperti kuliah kedokteran, ada kebidanan dan lainnya. Saat disuruh mengabdi di pondok memang dilema sebab banyak teman kuliah dapat beasiswa. Tapi setiap orang itu jalannya beda-beda, saya sendiri tidak tahu, Allah mau menjadikan saya apa? Saya sendiko dawuh saja ke Pak Kiai, insya Allah nanti berkah," katanya mengenang.
Yang unik, kata dia, setelah selesai pengabdian di Pondok Al Hikmah, Ustadz Sugeng ternyata saat itu masih ingin mondok lagi. Keputusannya ini sampai membuat orang tuanya heran.
"Kamu gimana kok mondok terus? Kata ayah. Tapi saya sudah telanjur suka mondok, Tahun 2013 saya masuk pondok lagi di Sleman, lalu tahun 2014 kita diminta oleh ustadz mengumpulkan berkas mau didaftarkan ke sini (Al Qassim University). Alhamdulillah tahun 2015 saya lulus dari pondok, Tidak ada gelar seperti S1 dan lain-lain. Tapi saya dikabari oleh ustadz kalau berkas saya diterima. Insya Allah awal tahun 2016 berangkat ke Arab Saudi, kuliah di Al Qassim ini," katanya.
Ustadz Sugeng pertama kali menginjakkan kaki di kampus Al Qassim di musim dingin Januari 2016. Setelah satu bulan, baru diberangkatkan umrah.
"Rasanya senang sekali. Dan selanjutnya umrah beberapa kali. Bapak saya akhirnya menyadari, iya ya..kalau menuruti kata kiai insya Allah berkah. Pak Kiai tidak akan memilihkan jalan yang salah untuk santrinya. Pak Yai tidak mungkin mengarahkan kita ke jalan keburukan," katanya.
Lalu apa saja yang dilakukan di awal-awal kuliah? "Saat itu ada persiapan penguasaan bahasa Arab selama dua tahun. Waktu itu beda dengan sekarang, dulu tidak semahal sekarang. Alhamdulillah kita kuliah di sini mendapat tunjangan dari Arab Saudi, 840 riyal, sekitar Rp 3 juta. Lalu, jatah tiket pesawat pulang pergi setahun sekali, kalau cumlaude dapat 500 riyal setiap semester. Kita setiap semester juga dapat uang buku, asrama gratis. Kalau mau umrah, tinggal berangkat saja. Awal-wal dulu kita setiap pekan umrah. Jarak dari Qassim ke Makkah sekitar 1.000 km atau 12 jam naik bus travel, sampai rambut belum tumbuh itu cukur lagi (saking seringnya umrah, Red.).
Alhamdulillah diberikan kemudahan, tapi kemudian kita merasakan keseringan umrah, sehingga rasanya gimana gitu, tidak seperti bapak-bapak haji ini yang sangat merindukan umrah, melihat Kakbah, karena menunggu sangat lama. Kita jadi biasa saja. Akhirnya kita bicara sama teman-teman jangan keseringan ke sini, jangan keseringan umrah," katanya. (Bersambung)