Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ramadhan di Negeri Sakura: Orang Jepang Heran Umat Islam Puasa Ramadhan tapi Berat Badannya Malah Bertambah

Thursday, March 30, 2023 | 14:43 WIB Last Updated 2023-03-30T07:43:12Z

 

SUASANA seminar  bertajuk “Pengetahuan Dasar tentang Islam dan Makanan Halal” yang digelar di Lantai 3 Toyata International Association, Toyota Industrial Culture Center, Jepang, beberapa waktu lalu. 



Orang Jepang pada umumnya menilai puasa itu memberatkan. Membuat menderita. Apalagi setelah tahu puasa orang Islam. Selain tidak makan, puasa orang Islam, terutama di Bulan Ramadhan, ternyata juga tidak minum. Bahkan, mereka merasa bakal mati kalau puasa seperti puasanya orang Islam. Lebih-lebih puasa Ramadhan selama sebulan penuh.


Oleh Gatot Susanto


ACARA seminar bertajuk “Pengetahuan Dasar tentang Islam dan Makanan Halal” yang digelar di Lantai 3 Toyata International Association, Toyota Industrial Culture Center, beberapa waktu lalu dihadiri sekitar 17  peserta orang Jepang. Hadir juga dalam seminar yang dikoordinir oleh Toyota International Association (TIA) ini beberapa peserta peninjau. 


Mereka orang Indonesia dan ada pula orang Palestina. Tampak di antara pembicara dalam seminar itu, Dr Miftakhul Huda, M.Sc, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jepang, yang juga Designated Asistant Professor di Nagoya University, memberi pemaparan bukan saja soal produl halal, tapi juga menjawab pertanyaan dari orang Jepang soal puasa yang dijalankan umat Islam.



"Setelah seminar, diadakan sesi diskusi kelompok dengan orang Indonesia masuk di tiap kelompok sebagai narasumbernya. Luar biasa. Orang Jepang punya rasa ingin tahu yang tinggi dan kritis terhadap Islam, kehidupan sehari-hari orang Islam, dan juga makanan halalnya. Kenyataan bahwa orang yang puasa tapi berat badannya meningkat setelah puasa sangat menarik bagi mereka. Fenomena yang jadi kritikan buat umat muslim," kata Dr Miftakhul Huda kepada Global News, Rabu (29/3/2023) siang.


Orang Jepang kaget ketika tahu orang Islam ternyata sudah terbiasa berpuasa. Mereka lebih kaget lagi saat tahu umat Islam yang berpuasa banyak yang malah berat badannya bertambah. "Saat usai puasa Ramadhan berakhir, orang Jepang heran banyak orang Islam berat badannya malah naik," katanya.


Orang Jepang pada umumnya menilai puasa itu memberatkan. Apalagi setelah tahu puasa orang Islam. Selain tidak makan, puasa orang Islam terutama di Bulan Ramadhan, juga tidak minum. Bahkan, mereka merasa bakal mati kalau puasa seperti puasanya orang Islam. Lebih-lebih puasa Ramadhan selama sebulan penuh.


"Ya mereka kaget aja. Biasanya khan orang Jepang diet, tidak makan, untuk menurunkan berat badan atau sebelum operasi dan lain-lain. Tapi itu hanya tidak makan, mereka tetap minum," katanya.


Jumlah orang Jepang yang beragama Islam tidak banyak. Mungkin sekitar 40 ribuan. "Jarang sekali orang Jepang yang muslim," katanya.


Karena jumlah muslim tidak banyak, kata dia, suasana Ramadhan di Jepang kurang terasa di masyarakat. "Kecuali teman dekat orang muslim yang kadang nanya-nanya soal puasa Ramadhan dan soal Islam. Mereka pada umumnya merasa kasihan mendengar orang Islam puasa. Tapi mereka sangat hormat saat ada orang puasa," katanya. 


Toleransi beragama di Jepang sangat tinggi. Saling menghormati antar-pemeluk agama. Bahkan, saat Ramadhan banyak orang Jepang memberikan makanan halal kepada tetangga atau temannya muslim yang sedang berpuasa.


Selain itu, meski tidak semua, kabarnya sejumlah perusahaan juga memberi pengurangan jam kerja kepada karyawannya yang beragama Islam. Terutama bila durasi puasa Ramadhannya cukup panjang di musim panas, di mana siang hari bisa mencapai 17 jam. Bekerja sambil berpuasa selama 17 jam dinilai cukup berat sehingga manajemen perusahaan tersebut mengurangi jam kerja agar karyawan muslimnya bisa beribadah Ramadhan.  

"Kalau soal ini saya kurang tahu. Tapi kalau di sini (kampus tempat Miftakhul Huda bekerja, Red.) di musholla dekat kampus kita adakan rutinan bukber dan tarawih rutin tiap hari. Kita undang pihak international office di kampus," katanya.

 

Selain itu, kata dia, orang Jepang juga bertanya mengapa dibanding negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Filipina dan lain-lain, masyarakat Indonesia menerima agama Islam dan sekarang menjadi agama mayoritas. Mungkin ini ada hubungannya dengan agama lokal yang dianut oleh orang-orang Indonesia sebelum datangnya agama Hindu dan Budha, yaitu agama Kapitayan. 


Agama Kapitayan menyembah kekosongan atau suwung, yang disebut juga sang Hyang. Konsep tuhan yang berupa ruang kosong ini mirip dengan konsep tauhid, “tuhan ada tanpa arah dan tempat”. Oleh karena alasan ini, mungkin agama Islam muda diterima oleh masyarakat biasa di Indonesia.


"Sebelum ada Hindu dan Budha ada kepercayaan Jawa lokal namanya agama Kapitayan. Kalau agama Hindu dan Budha biasanya dianut kalangan  elite pembesar kerajaan kalau agama kapitayan agama masyarakat biasa. Karena itu dakwah Walisongo jadi mengena di masyarakat. Sebenarnya, agama Shinto yang mayoritas di Jepang, juga sama, dianut kalangan elite tapi sekaligus dianut masyarakat Jepang," katanya.


Makanan Halal


Dan tentu saja orang Jepang banyak bertanya soal produk halal Indonesia. Saat ini berkembang sangat pesat label halal maupun ekonomi syariah. Ini sangat positif sebagai perkembangan sosial ekonomi masyarakat muslim di dunia. Label halal memudahkan masyarakat muslim memilih makanan buat mereka. Tetapi, sebenarnya Islam sendiri tidak mengenal pelabelan makanan halal. Selama 14 abad lebih umat muslim hidup makan tanpa memakai label halal. 


"Iya, sebelum era globalisasi, belum ada ekspor dan impor, umat muslim makan dan minum hasil pertanian dan peternakan di daerah sekitar tempat hidupnya. Tidak ada makanan produksi daerah lain maupun negara lain yang non-muslim yang diimpor. Oleh karena itu, tentu pelabelan halal tidak diperlukan. Namun, saat ini era globalisasi dunia makin kompleks tentu saja pelabelan halal menjadi diperlukan," kata Miftakhul Huda.


Berbeda dengan pelabelan ataupun sertifikasi halal yang memberi kesan seolah-olah yang berlabel halal saja yang halal dimakan yang tidak berlabel menjadi haram, kata peneliti yang konsentrasi di bidang nanoteknologi, sel surya, quantum dot, disk magnetik, dan perakitan otomatis dari block copolymer(self-assembly) ini, sebenarnya secara konsep pada dasarnya semua makanan itu halal.


"Sesuatu itu menjadi haram karena disebutkan berdasarkan nash, dalil, maupun fatwah para ulama. Jadi, semua makanan yang ada itu entah berlabel atau tidak, itu pada dasarnya halal dimakan. Yang halal itu sangat luas dan banyak. Dia menjadi haram saat baru diketahui mengandung barang haram. Selama tidak diketahui atau secara kasat mata halal, tentu hukumnya halal dimakan. Tidak perlu risau ataupun khawatir karena pada dasarnya agama Islam itu bersifat sangat memudahkan pemeluknya. Jangan menjadi orang yang berbelit-belit atau mempersulit diri sendiri seperti dikisahkan dalam Al Qur’an. Disebutkan dengan jelas bagaimana kisah orang-orang yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih sapi betina tapi mereka malah mempersulit dirinya sendiri," katanya.


Umat Islam sendiri di Jepang, kata dia,  sangat nyaman dalam hal makanan. Umat Islam sangat berterima kasih kepada masyarakat Jepang dalam tradisi mereka menghidangkan makanan. Makanan Jepang atau washoku, menurut Miftakhul Huda, terkenal dengan tradisinya menghidangkan makanan secara terpisah dalam mangkuk-mangkuk kecil. Satu piring atau mangkuk kecil berisi satu jenis makanan. 


"Satu jenis masakan biasanya berisi satu bahan makanan. Misalnya, tempura ditaruh terpisah, sushi atau sashimi ditaruh terpisah, sayur dan nasi juga ditaruh terpisah. Begitu juga masakan daging. Hal ini membuat kita umat muslim bersyukur karena kita dengan mudah bisa membedakan mana makanan berisi daging dengan makanan yang lainnya. Ini sangat memudahkan kita dalam memilih masakan yang halal yang bisa kita makan di Jepang. Alhamdulillah," katanya. (*)


×
Berita Terbaru Update