Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ritual Haji yang Dirindukan

Thursday, July 14, 2022 | 08:27 WIB Last Updated 2022-07-14T01:27:04Z


Oleh Prof. Nur Syam

                                            

SECARA sosiologis kita tidak bisa menampik bahwa memang haji merupakan ibadah yang paling bergengsi. Selain memiliki prestise sebagai bagian kecil dari umat Islam yang sudah tuntas dalam pengamalan beragama, akan tetapi juga memiliki gengsi sosial yang tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia bahkan menjadi haji adalah prestise sosial yang luar biasa. 


Di Sulawesi Selatan, misalnya, seorang perempuan yang sudah haji memiliki mahar yang lebih tinggi jika dilamar oleh seorang lelaki. Di Madura, sebutan bagi haji adalah toan atau terhormat, seperti Kak Toan atau Lik Toan. Jadi menjadi seseorang yang dituankan. 


Pergi haji bisa menjadi ukuran seseorang dianggap berhasil secara duniawi dan ukhrawi. Secara duniawi pasti memiliki kekayaan, dan secara ukhrawi juga merasakan memperoleh jaminan akan memasuki keridlaan Tuhan. Bukankah haji yang mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surganya Allah SWT. Makanya seseorang ingin berlomba untuk pergi haji sebagai indikator kesuksesannya di dalam kehidupan sosial religious.


Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Karena haji itu ibadah fisikal dan juga material,  maka Allah dengan kasih sayangnya hanya mewajibkan haji bagi yang mampu, yakni mampu fisik dan mampu materi. Fisik harus sehat sebab haji adalah ibadah yang banyak aktivitas fisiknya, misalnya Thawaf atau mengelilingi Kakbah tujuh kali, Sa’i atau berlari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa tujuh kali dan melempar jumrah juga dilakukan secara fisikal. Selain itu juga keharusan memiliki harta untuk biaya perjalanan haji, misalnya dari Indonesia ke Arab Saudi pulang balik. Selama dua tahun tidak diselenggarakan ibadah haji karena Pandemi Covid-19. 

Di dalam Islam, ada banyak ritual yang diselenggarakan berdasarkan sejarah ritual di masa lalu. Hanya keyakinan dan caranya  yang berbeda. Misalnya puasa dan haji. Jika puasa dinyatakan sebagaimana ibadah umat terdahulu, maka haji dinyatakan khusus sebagai ibadah sebagaimana di masa lalu dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. 


Ibadah haji dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah kurban yang juga napak tilas peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS. Secara historis, peristiwa kurban dan pelaksanaan haji diperoleh sumber utamanya dari teks suci agama, baik agama Nasrani maupun Islam. Meskipun terdapat perbedaan tentang siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, akan tetapi sumber teks menyatakan bahwa memang ada peristiwa pengurbanan putra tercinta Nabi Ibrahim. Islam menyebut Ismail, sementara Nasrani  menyebut Ishaq. 


Harus diakui bahwa ada banyak cerita yang terdapat di dalam Teks Suci al-Qur'an yang kemudian dibenarkan oleh kajian ilmiah. Misalnya  peristiwa tenggelamnya Fir’aun yang diceritakan dalam pengejarannya terhadap  Nabi Musa AS dan umatnya Bani Israel. 


Jasadnya ditemukan dan kemudian pada  saat diteliti, maka di dalam mulutnya terdapat kandungan garam yang mengindikasikan bahwa Fir’aun memang tenggelam di laut (Maurice Bucaille, Bible, al-Qur’an dan Sains Modern). 


Selain itu, cerita tentang bulan terbelah dan kemudian dibenarkan di dalam kajian ilmiah, karena memang terdapat tanda-tanda bahwa bulan memang pernah terbelah (Zakir Naik, Keajaiban al-Qur'an dan Sunnah).  


Peristiwa kurban dan perjalanan Nabi Ibrahim dan keluarganya inilah yang kemudian diabadikan oleh Islam dalam ibadah haji. Pada masa pra-Islam,  haji dilakukan oleh suku-suku di Arab, terutama oleh Suku Quraisy dan bahkan di sekitar Kakbah juga terdapat banyak patung yang dibuat oleh masing-masing suku,  tetapi yang terbesar adalah Al Lata,  Manat dan Al Uzza. Peribadatan yang semula dicontohkan oleh Nabi Ibrahim tersebut diselewengkan dengan masuknya unsur-unsur kepercayaan local, dan Nabi Muhammad SAW yang kemudian meluruskan.


Ibadah haji yang sekarang dilakukan merupakan ibadah haji yang otentik, yaitu berpakaian ihram, melakukan Thawaf tujuh kali, Sa’i tujuh kali, Wukuf di Arafah, Mabit  di Muzdalifah, dan melempar jumrah di Mina dan diakhiri dengan tahallul. Inilah ritual haji yang sesungguhnya dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh umat sesudah Nabi Ibrahim merupakan kelaziman sebagaimana sejarah agama-agama yang memang juga terjadi perubahan.  


Disebabkan panjangnya waktu perjalanan agama-agama tersebut, maka juga terjadi perubahan demi perubahan. Menurut Peter L. Berger, disebutkan bahwa agama adalah kabar angin dari langit. Semakin lama jarak antara penerima wahyu dengan umatnya, maka akan terjadi penafsiran demi penafsiran dan bahkan juga masuknya unsur-unsur local yang sangat jauh dari ajaran agama dimaksud. 


Kita bersyukur bahwa ajaran Islam hingga hari ini masih terjaga.  Teks  suci al-Qur'an juga  masih orisinil sesuai dengan masa Nabi Muhammad SAW. Memang tidak menampik adanya penafsiran atas teks suci,  tetapi  harus dibedakan antara teks suci yang merupakan kalam Tuhan dengan tafsir atas kalam Tuhan hasil penafsiran manusia. 


Kita tidak bisa membayangkan ada seseorang yang hafal 30 juz dari al-Qur'an . Saat ini, di Indonesia sedang tumbuh majelis-majelis khotmil Qur’an dan hifdzul Qur’an. Setiap pondok pesantren memiliki program tahfidz, dan mereka inilah yang menjaga autentisitas al-Qur'an. 


Pelaksanaan ibadah haji tentu terdapat teks sucinya, baik al-Qur'an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW. Namun demikian juga terdapat penafsiran para ulama tentang ibadah tersebut. 


Misalnya terkait dengan penafsiran tentang kapan dimulai Wukuf, melempar jumrah dan juga shalat Idul Adha. Pada tahun 2022, misalnya Arab Saudi menentukan Wukuf tanggal 8 Juli 2022 dan Shalat Idul Adha 10 Juli 2022 di Indonesia. Tentu saja dalam hal pelaksanaan ritual haji harus mengikuti otoritas pemerintah Saudi, sementara  untuk shalat hari raya Idul Adha tergantung pada penafsiran para ulama di negara yang bersangkutan. 


Sebagai puncak ibadah, bahwa ibadah haji dan bahkan umrah memiliki auranya sendiri. Beribadah di dekat rumah Allah atau Kakbaitullah tentu memiliki dimensi spiritual yang berbeda. Pengalaman beragama itulah yang sesungguhnya dicari oleh para peziarah Rumah Allah SWT. Akibatnya juga terdapat orang yang bisa berkali-kali melakukan umrah dan bahkan pergi haji. Ibadah haji dan umrah memang dirindukan. Wallahu a’lam bi al shawab. (sumber: nursyamcentre.com)


  

×
Berita Terbaru Update