Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pelepasan Calon Haji, Mulai Doa Bersama di Masjid hingga Pecah Kendi

Friday, July 26, 2019 | 06:39 WIB Last Updated 2019-07-26T01:45:15Z

HAJIMAKBUL.COM - Prosesi pelepasan  calon jamaah  haji dilakukan dengan berbagai cara di tanah air. Hal ini menjadi pembahasan publik setelah beredar video di media sosial ada prosesi "pecah kendi" yang tampak dilakukan pihak manajemen maskapai Garuda Indonesia. Perusahaan modern tapi toh masih melakukan ritual tradisional. Hal ini jadi polemik karena dikhawatirkan menjurus ke klenik yang berbau kurafat  dan syirik. Namun apakah cara Garuda itu dilarang agama, masih butuh fatwa ulama.

Yang jelas, prosesi pelepasan calon jamaah haji biasanya dilakukan secara khusus. Masih ada warga yang mengantar jamaah seperti pengantin saja, diarak melewati jalan menuju lapangan atau masjid. Setelah itu baru naik mobil diiringi kendaraan pengantar munuju pendapa kabupaten untuk diberangkatkan secara resmi ke asrama haji baru esok harinya terbang ke tanah suci. Bahkan beberapa tahun lalu ada calon haji diarak jalan kaki menuju pendapa di Kota Sidoarjo. Tradisi yang diuri-uri hingga saat ini.

Lain lagi di Dusun Ngembul Desa/Kec. Kesamben Kab. Jombang. Calon haji di desa ini biasanya mengadakan open house menerima tamu warga yang bahkan selama dua hari dan berlangsung sampai tengah malam. Warga silaturahim untuk mendoakan sekaligus untuk minta didoakan agar bisa cepat naik haji. Doa saat di tanah suci diyakini mustajabah. Bukan hanya itu, warga juga memberi uang kepada calon haji. Titip uang yang sifatnya amal agar mendapat berkah bisa segera berhaji. Calon haji bisa lelah menerima tamu yang terus berdatangan.

Tradisi titip uang yang hakikat amal membantu calon jamaah haji ini baik meski tidak ada tuntunannya secara khusus. Ya kecuali amal dan niat baik membantu calon haji. Amal baik ini diharapkan mendapat ridha dari Allah yang kemudian diharapkan lagi Allah memanggil orang itu untuk berhaji. Kita semua tahu, haji diyakini panggilan dari Allah SWT. Keyakinan ini wajar sebab banyak orang kaya tapi tidak mau berhaji. Dia kaya harta tapi miskin aqidah. Tapi sebaliknya banyak pula tukang sayur keliling, pedagang kaki lima, bahkan tukang becak, pun berhaji dengan seizin Allah SWT. Bila Allah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin. Semua pasti terjadi.

Namun bagaimana hukumnya pelepasan jamaah haji dengan acara seremonial seperti di Dusun Ngembul itu? Tiga pasangan suami istri di dusun ini berhaji. Mereka berenam dilepas dalam acara di Masjid Al Muttaqien. Acaranya mulai qiraah membuka ayat suci Al Quran, sambutan-sambutan, istighotsah, salawatan berdoa bersama dan pelepasan jamaah calon haji. Tradisi ini tetap dilakukan walau yang berangkat haji hanya satu orang.

Tujuannya untuk syiar Islam. Agar semua warga termotivasi untuk berhaji. Tradisi serupa juga dilakukan di desa-desa lain di Jatim.  Acara yang lumrah dilakukan warga.
Pecah Kendi, Syirik?
Namun mengapa pelepasan keberangkatan jamaah haji tahun ini diwarnai pembahasan warganet. Pasalnya, dalam video yang beredar, ada prosesi "pecah kendi" yang tampak dilakukan pihak manajemen maskapai Garuda Indonesia.

Prosesi demikian terjadi menjelang keberangkatan calon jamaah haji. Namun, tindakan itu lantas menuai protes publik Muslim karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Biasanya, "pecah kendi" dijalankan sebagai tradisi Jawa saat melangsungkan pernikahan. Masyarakat setempat yang melakukannya lantaran memercayai prosesi tersebut sebagai pembuka rezeki bagi kedua mempelai.

Lantas, apakah tradisi semacam ini diperbolehkan menurut syariat? Apalagi dalam konteks melepas keberangkatan para calon jamaah haji?

Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII), KH Muhammad Siddik berpandangan, tradisi semacam "pecah kendi" perlu dibahas komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah prosesi demikian mengandung unsur kesyirikan atau tidak.

Jika diketahui mengandung unsur syirik, lanjut dia, jelas prosesi tersebut perlu ditinggalkan.
“Jika tradisi itu sebagai bentuk rasa syukur, di dalam Islam sebenarnya ada (ekspresi) rasa syukur dengan melaksanakan hal-hal yang sesuai agama. Tidak perlu melakukan ‘pecah kendi’ jika itu mempunyai pengertian tradisi lama, yang memiliki unsur kemusyrikan,” papar Kiai Siddik saat ditemui di Jakarta, Rabu (17/7/2019) seperti dikutip dari republika.co.id.
Bagaimanapun, dia mengaku khawatir bila tradisi "pecah kendi" bisa menimbulkan hal-hal yang menjurus pada kemusyrikan.

Memang, tiap tradisi memiliki filosofi tertentu. Inilah yang perlu diteliti, apakah mendekati unsur syirik atau tidak. Hal demikian agar umat Islam terhindar dari suatu perbuatan yang mengandung anasir-anasir menyekutukan Allah.

Untuk kegiatan pelepasan keberangkatan calon jamaah haji, Kiai Siddik menganjurkan adanya prosesi yang sewajarnya. Dalam arti, sesuai ajaran agama Islam. Misalnya, membaca Alquran atau berdoa kepada Allah.

“Bagaimanapun, tradisi yang mengandung unsur syirik dilarang dalam Islam. Karena syirik merupakan salah satu dosa yang tidak diampuni Allah,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Wasekjen PBNU, Masduki Baidlowi, mengatakan tradisi "pecah kendi" biasanya memiliki filosofi yang menyimbolkan doa.  Masduki memandang, tradisi semacam itu tidak perlu dipermasalahkan selama tidak dimaksudkan untuk syirik. Ia menjelaskan, ada kaidah fikih dari Mazhab Syafii, yakni al 'adatu muhakkamah. Maknanya, adat kebiasaan masyarakat  dapat dijadikan sebagai sandaran hukum.Sebab, kata dia, nash-nash dalam hukum Islam terbatas. Namun, Allah memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk berijtihad.

“Maka adat istiadat yang ada di manapun di dunia selama itu tidak bertentangan dengan agama Islam secara teologi, maka dia bisa dijadikan tradisi dalam Islam. Karena ada tradisi yang berbeda-beda antara penduduk dan kelompok yang lain,” kata Masduki, Rabu (17/7). Ia menjelaskan, prinsip dalam setiap perkara dalam agama Islam adalah al-Ashlu fil asya' al-ibahah. Artinya, hukum asal atas segala sesuatu adalah boleh. Hal itu masih dengan perkecualian. Sesuatu bisa menjadi haram bila ada unsur haram di dalamnya.

Sinkretisme?

Tradisi "pecah kendi" saat pelepasan haji dianggap sebagian pihak sebagai sinkretisme, yakni mencampuradukkan tradisi dengan ajaran Islam. 

Namun menurut Kiai Masduki, sinkretisme tidak dilarang dalam agama sepanjang itu tidak menyinggung persoalan teologis. Sebab, lanjut dia, agama Islam pun sampai ke Indonesia dengan cara sinkretisasi atau akulturasi budaya antara satu dengan yang lain. Saat Islam belum datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi, yang diwarisi oleh kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.

Umumnya, kata dia, masyarakat sudah memiliki tradisi-tradisi yang baik. Ketika Islam datang, Islam tidak serta-merta menghancurkan seluruh tradisi tersebut. Bahkan, menurutnya, agama ini kemudian berakulturasi. Apa-apa yang secara teologis bertentangan lantas dibersihkan. Yang tidak bertentangan dengan syariat Islam kemudian tetap berjalan.

Ia menyebut sinkretisasi sebagai bid'ah hasanah, yakni sesuatu yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW dan tidak diajarkan Beliau shalallahu 'alaihi wasallam, tetapi tidak berkaitan dengan syariah secara langsung, ibadah mahdhah, dan ketauhidan.

“Jadi, sinkretisasi itu adalah pencampuran budaya antara satu dengan yang lain, sehingga ada tesis, antitesis, sintesis. Persoalan dalam tradisi itu perlu dilihat ada unsur haram atau tidak. Jika ada unsur haram, menjadi haram. Jika tidak, berarti tidak haram,” jelasnya.

Maka dari itu, lanjut dia, suatu tradisi perlu ditelaah lebih mendalam, apakah memiliki unsur haram atau tidak. Selama tidak bersinggungan langsung dengan ketauhidan, ia menilai suatu tradisi tidak jadi soal disertakan dalam kegiatan ibadah umat Islam. Seperti halnya pelepasan jamaah haji tersebut.

“Kita jangan terlalu dibayang-bayangi oleh musyrik dan sinkretisasi, seakan-akan itu tidak boleh. Karena kita punya prinsip dasar dalam Islam,” tambahnya. (Gatot Susanto)
×
Berita Terbaru Update