Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kisah Haji Tamu Raja Arab Saudi (3): Antara Hajar Aswad dan Arbain

Friday, June 21, 2019 | 04:30 WIB Last Updated 2019-06-20T21:30:04Z


Musim haji pun tiba. Kloter pertama jamaah haji Indonesia akan bertolak menuju Madinah pada Minggu 7 Juli 2019. Sekarang para jamaah sibuk memantapkan manasik dan menggelar acara  selamatan  atau doa bersama mengundang warga sekitar. Menyambut musim haji tahun ini, Redaksi  Global News menurunkan catatan pengalaman koresponden media ini, Achmad Supardi, yang pernah berhaji khusus atas undangan Raja Arab Saudi. Achmad Supardi yang pernah menjadi wartawan Harian Sore Surabaya Post sekarang menempuh pendidikan S3 di School of Communication and Arts, The University of Queensland, Australia.

Oleh: Achmad Supardi


HAJIMAKBUL.COM – Saya berada di Arab Saudi sekitar 18 hari, termasuk sekitar 5 hari di Madinah. Beberapa kali Tawaf, saya tak pernah bisa mencium Hajar Aswad. Bukan apa-apa, hanya saja saya bertekad untuk bertawaf dengan cara yang baik dan tidak mengganggu atau bahkan menyakiti orang lain.

Saya tidak mau menjadi bagian dari “kereta-keretaan” jamaah. Ini adalah saat beberapa jamaah berkumpul saling berpegangan serupa kereta lalu menerobos lautan jamaah lainnya. Tidak jarang saya lihat mereka bukannya berputar mengikuti arus (yang biasanya secara alamiah membuat mereka makin dekat ke arah Kakbah), tapi memotong arus. Sangat sewenang-wenang dan menjengkelkan. Dan ini bukan dominasi jamaah kulit hitam atau jamaah kulit putih, banyak pula jamaah asal Indonesia yang melakukannya juga.

Saya juga berusaha menyimpan kedua siku saya di depan dada, bukan di kiri dan kanan yang bisa menyakiti orang lain saat berdesak-desakan. Saya berjalan sesuai kecepatan arus. Yang penting seimbang dan tidak jatuh. Butuh waktu agak lama untuk menyelesaikan sekali Tawaf juga tak mengapa. Intinya jangan mengganggu atau mengambil hak orang lain. Jangan dianggap riya, ya, hahaha.

Dalam hal “mengejar Hajar Aswad” ini memang banyak cara dilakukan. Salah satunya, dengan “meminta bantuan” petugas kebersihan. Jadi, di areal Masjidil Haram, petugas kebersihan berkumpul beberapa orang, yang dengan tali pengaman lalu membentuk persegi panjang. Para jamaah tahu bahwa mereka adalah petugas kebersihan, bagian dari pemerintah, karena itu tak ada yang berani macam-macam. Mereka pun “leluasa” bergerak di tengah lautan manusia. Nah, sebagian jamaah “berusaha” untuk berada di belakang petugas kebersihan ini dengan harapan pada akhirnya akan sampai pula ke tempat Hajar Aswad.

Hal yang sama terjadi di Masjid Nabawi. Saya dengan sabar mengikuti alur untuk menuju Raudah maupun saat melintas di depan Makam Rasulullah Muhammad SAW. Mungkin saya hanya pernah sekali atau dua kali sholat di Raudah karena tak ingin mendesak dan saat ditutup oleh penjaga, saya tak menawarnya.      

Selain tidak bisa mencium Hajar Aswad, saya juga tidak melaksanakan sholat Arbain di Masjid Nabawi, Madinah, karena saya hanya singgah di kota cantik ini sekitar 5 atau 6 hari.

Bagi yang belum tahu, “sholat Arbain” adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sholat berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 waktu berturut-turut. Karena dalam sehari ada 5 kali sholat wajib, berarti sholat Arbain akan tercapai bila kita tinggal di Madinah, minimal 8 x 24 jam.

Sholat Arbain ini hanya istilah saja, bukan jenis sholat. Saya tidak tahu bagaimana sejarahnya hingga “sholat Arbain” menjadi begitu penting di kalangan sebagian jamaah haji Indonesia. Dari segi semangatnya bagus sekali, mendorong kita untuk selalu sholat berjamaah di masjid selama musim haji.

Oh iya, bicara tentang haji, rasanya tidak lengkap bila tidak menyinggung “sandal hilang”. Sebelum saya berhaji, begitu sering saya mendengar cerita dari kerabat dan tetangga yang baru pulang berhaji. Mereka kehilangan sandalnya. Lalu, setelah memohon ampun kepada Allah SWT dan mengingat semua dosa-dosa mereka, keesokannya mereka temukan kembali sandal itu.

Setelah saya berhaji sendiri, misteri itu akhirnya terpecahkan, hahaha. Jadi, Masjidil Haram itu punya 120 pintu  – saat ini ada 210 pintu setelah perluasan masjid. Banyak jamaah yang masuk melalui pintu A, lalu karena suatu hal, misalnya karena daya ingat ruang (spasial) yang buruk seperti saya, pulang lewat pintu lain. Dicari-carilah sandal di pintu yang lain itu. Ya, takkan pernah bisa ketemu. Esoknya, mereka datang ke pelataran Kakbah dari pintu yang sama, pintu A, ya ketemulah sandal itu. Bukan sandalnya yang raib lalu kembali lagi, tapi jamaah yang pulang tidak lewat pintu yang sama dengan ketika masuknya. (Bersambung)  


×
Berita Terbaru Update