Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Berhaji Mabrur Ala Tukang Sol Sepatu

Saturday, March 18, 2017 | 01:57 WIB Last Updated 2017-03-22T23:51:37Z


JUTAAN  umat pergi ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji. Di luar musim haji, jutaan muslim juga melakukan umroh di tanah Al Haram. Sebagian di antara jamaah yang berumroh di Bulan Ramadhan, pahalanya disamakan dengan berhaji. Tapi ada syaratnya. Hajinya mesti mabrur. Ibadahnya makbul.



Nah justru syarat itu yang sulit dipenuhi oleh umat Islam sebab sebagian besar hanya sekedar berhaji. Mereka tak bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah haji sesuai yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan mengambil hikmah serta teladan dari jejak keimanan Kanjeng Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS, dan Ibunda Siti Hajjar.


Umat Islam berhaji sekedar pamer mengejar status sosial di masyarakat, yang ujung-ujungnya riya', bahkan pamer kesombongan saat meraih predikat haji. Bagaimana mungkin ibadah haji yang esensinya keikhlasan, ketakwaan, diselipi sifat sombong. Sungguh terlalu pada momen yang paling spiritual ini mereka sombong di hadapan Allah SWT, yang maha kuasa dan perkasa. Tak ada yang pantas disombongkan di hadapan Allah.



Karena itu, banyak orang berhaji sekedar tahu Kakbah, tahu kota Makkah dan Madinah. Tidak lebih. Tak ada kemabruran atau kemakbulan. Maka, menjadi sangat ironis ketika haji mereka disandingkan dengan hajinya seorang tukang sol sepatu, yang secara fisik, justru tak pernah berhaji, tak tahu kota Makkah dan Madinah. Apalagi berdoa di Multazam atau Raudhah. Tapi dialah teladan bagi haji yang mabrur.


Begini kisahnya seperti dikutip dari alkisaah.blogspot.com: 


Adalah Abu 'Abdurrahman Abdullah ibn al Mubarak al Hanzhali al Marwazi, seorang ulama' masyhur di Makkah yang menceriterakan riwayat ini.  Suatu ketika, setelah selesai menjalani ritual ibadah haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua Malaikat yang turun dari langit, dan mendengar percakapan keduanya.

"Berapa orang yang datang tahun ini (untuk haji)?" tanya satu malaikat kepada malaikat lainnya.

"Tujuh ratus ribu jama'ah," jawab Malaikat yang ditanya.

"Berapa banyak dari mereka yang diterima ibadah hajinya?"

"Tidak satupun."


Percakapan itu membuat sang Abdullah al Mubarak bergemetar.

"Apa?" ia menangis dalam mimpinya.

"Semua orang - orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia - sia ?"

Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar percakapan kedua malaikat itu.

"Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, akan tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia pula seluruh ibadah haji mereka diterima oleh Allah"

"Kenapa bisa begitu?"

"Itu kehendak Allah."

"Siapa orang tersebut?"

"Sa'id ibn Muhafah tukang sol sepatu di Kota Dimasyq (Damaskus)."

Mendengar ucapan itu, Abdullah al Mubarak pun langsung terbangun dari tidurnya. Sepulang haji, ia tak langsung pulang menuju rumah, akan tetapi langsung menuju kota Damaskus, Syiria. Hatinya bergetar dan bertanya - tanya.

Sesampai di sana, ia langsung mencari sang tukang sol yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ia tanya, apakah ada tukang sol sepatu yang bernama Sa'id ibn Muhafah.

"Ada, di tepi kota," jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjuk arahnya.

Sampai di sana ia mendapati seorang tukang sol sepatu yang berpakaian amat lusuh, "Benarkah anda bernama Sa'id ibn Muhafah ?" tanya ibn al Mubarak.

"Betul, siapakah tuan?"

"Aku Abdullah ibn al Mubarak."

Sa'id pun terharu, "Tuan adalah Ulama' terkenal, ada apa gerangan mendatangi saya?"

Sejenak, Ulama' itupun kebingungan, darimana ia akan memulai pertanyaannya. Akhirnya ia pun menceritakan perihal mimpinya.

"Saya hendak tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur, dan membuat mabrur ibadah haji para jama'ah yang lain?"

"Wah saya sendiri tidak tahu."

"Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini."

Maka Sa’id ibn Muhafah pun bercerita, "Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar suara talbiyah: 'Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika laa syariika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka, laa syariika laka' dan, setiap kali aku mendengar talbiyah itu, aku selalu menangis 'ya Allah aku rindu Makkah, ya Allah aku merindu Kakbah. Ijinkan aku datang, ijinkan aku datang ya Allah' oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu, setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan, hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, cukup untuk saya berhaji, saya sudah siap berhaji."

"Tapi anda batal berangkat haji."

"Benar..."

"Apa yang terjadi?"

"Ketika itu, Istri saya hamil, dan mengidam. Waktu saya hendak berangkat, saat itu dia ngidam berat."

Istriku berkata, "Suamiku, menciumkah engkau bau masakan yang nikmat ini?"

"Iya, sayang..."

"Cobalah kau cari, siapakah yang masak sehingga baunya begitu nikmat. Mintalah sedikit untukku."

"Ustadz, kemudian saya pun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Di situ ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya."

Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan, "tidak BOLEH, Tuan!"

"Dijual berapapun akan saya beli."

"Makanan itu tidak dijual, Tuan," katanya sambil berlinang mata.

"Kenapa!?"

Sambil menangis, janda itu menjawab, "Daging ini halal untuk kami dan haram untuk Tuan."

Dalam hati saya, "Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim?" Karena itu saya mendesaknya lagi 

"Kenapa..?"

Perempuan itu pun menjawab: "Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah sama sekali tak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk kami masak, dan kami makan..." 
Sesenggukan janda itu menjelaskan.

"Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram..."

Mendengar ucapan tersebut, saya menangis, kemudian kembali pulang. Aku ceritakan perihal kejadian itu pada istriku, ia pun menangis. Hingga akhirnya, kami memasak makanan dan mendatangi rumah janda tersebut.

"Ini masakan untukmu..." 

Uang peruntukan haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka. "Pakailah uang ini untukmu sekeluarga. Gunakanlah untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi..."

Ya Allah ... disinilah Hajiku...
Ya Allah ... disinilah Makkahku...

Mendengar cerita tersebut, Abdullah al Mubarak pun tak bisa menahan air matanya.




Niat Suci


Dari kisah tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya Allah tidak memandang ibadah seseorang karena hartanya, melainkan karena niatnya yang suci. Bahkan ketika Rasulullah ditanya tentang amalan yang mampu memasukkan seseorang ke surga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Jadilah kamu orang baik.”


Orang tersebut bertanya kembali, “Ya Rasulullah bagaimana aku boleh mengetahui bahwa aku ini telah berbuat baik?” Rasul menjawab, “Tanyakan pada tetanggamu, kalau mereka berkata kamu baik, maka baiklah kamu. Kalau mereka mengatakan kamu busuk, maka busuklah kamu.”


Semoga kita senantiasa menjadi pribadi yang berbuat baik kepada sesama, terutama kepada keluarga dan tetangga terdekat kita. Wallahu A’lam. *
×
Berita Terbaru Update