×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ibadah, Termasuk Haji, Membentuk Karakter Umat, Aneh Bila Ada Haji Korupsi

Thursday, October 2, 2025 | 09:25 WIB Last Updated 2025-10-02T02:31:35Z

 

Ulul Albab

Taushiyah Oleh: 

Ulul Albab, 

Ketua ICMI Jawa Timur


HAJIMAKBUL.COM - Sebagai  pengajar mata kuliah Agama Islam, yang juga sebagai Ketua Icmi, saya tidak bisa menutup mata terhadap berbagai persoalan yang menimpa umat Islam belakangan ini. Tragedi kemanusiaan, konflik internal, perpecahan sosial, hingga krisis moral yang makin sering kita dengar, sungguh menimbulkan keprihatinan mendalam.


Masjid-masjid memang ramai, bahkan kegiatan keagamaan meningkat. Namun pada saat yang sama, perilaku sebagian umat belum mencerminkan nilai luhur ajaran Islam. Korupsi masih marak, rapat musyawarah jadi ricuh, ujaran kebencian mudah meletup, dan stigmatisasi antar golongan kerap muncul. 

Bisa Simak Video ini....


Pertanyaanya adalah: mengapa ibadah yang begitu banyak dilakukan belum sepenuhnya mampu membentuk karakter yang mulia?


Padalah Al-Qur’an telah memberi jawaban. Dalam Quran Surat. Al-‘Ankabut: 45, Allah berfirman: “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”


 Ayat ini menegaskan bahwa ibadah bukan hanya ritual. Shalat, puasa, zakat, maupun haji seharusnya menjadi sarana pendidikan moral, bukan hanya simbol kesalehan formal.


Ritual Harusnya Membentuk Watak


Shalat itu latihan disiplin. Lima kali sehari, dengan waktu yang teratur. Dari situ kita belajar ketepatan, kesabaran, dan kehadiran hati.


Puasa adalah latihan empati. Kita ikut merasakan perihnya hidup mereka yang kekurangan. 


Zakat, jelas-jelas ibadah sosial. Ia mengingatkan bahwa harta bukan milik mutlak kita, ada hak orang lain yang harus kita salurkan.


Sedangkan haji adalah puncak kesetaraan: semua mengenakan kain putih yang sama, tanpa pangkat dan kedudukan.


Jika ibadah dijalankan dengan kesadaran, maka harusnya akan membentuk manusia berkarakter: sabar, jujur, peduli, rendah hati, dan adil. Jika faktanya tidak, maka berarti ada sesuatu yang salah. Bukan ibadah yang harus disalahkan, tetapi manusianya yang perlu disadarkan.


Kisah-Kisah Kecil Inspiratif


Saya teringat pada seorang pegawai di daerah yang bercerita kepada saya. Ia hidup pas-pasan, gajinya tak seberapa. Tapi ia menolak semua tawaran suap, meski bisa membuat hidupnya lebih lapang.


“Saya tidak berani,” katanya, “karena setiap kali selesai shalat, saya merasa Allah menegur saya kalau berbuat curang.” 


Shalat bukan hanya rutinitas baginya, tetapi pagar moral yang kokoh.


Ada pula kisah seorang pedagang di pasar tradisional. Setiap bulan ia menyisihkan keuntungan untuk zakat dan sedekah. Ia dikenal jujur dalam menimbang, tak pernah mengurangi timbangan walau sedikit.


Para pembeli percaya kepadanya. Rezekinya justru makin berkah. Ia berkata, “Saya yakin kalau zakat saya lancar, Allah yang melancarkan dagangan saya.”


Kisah-kisah seperti ini menunjukkan wajah ibadah yang sesungguhnya: sederhana, membumi, tapi nyata mengubah perilaku.


Dimensi Sosial Ibadah


Islam selalu menekankan keseimbangan antara hablum-minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum-minan-nas (hubungan dengan sesama). Shalat berjamaah, misalnya, mendidik kita untuk hidup bersama, sejajar dalam saf.


Puasa Ramadan mengikat umat dalam solidaritas global, dari Jakarta hingga Kairo, dari Makkah hingga New York.


 Zakat, bila benar-benar dioptimalkan, adalah solusi nyata mengurangi kemiskinan. Dan haji mempertemukan umat dari berbagai bangsa untuk saling mengenal dan mempererat ukhuwah.


Belajar dari Para Pemikir


Imam al-Ghazali menyebut, ibadah tanpa hati hanyalah gerakan kosong. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa ibadah sejati harus memberi manfaat bagi orang lain. Ulama kontemporer seperti Quraish Shihab menambahkan, inti ibadah adalah penghayatan nilai, bukan sekadar formalitas.


Sementara itu, penelitian modern di bidang psikologi agama menunjukkan bahwa praktik ibadah kolektif meningkatkan perilaku prososial, rasa empati, dan kontrol diri. Artinya, secara ilmiah pun ibadah memang terbukti berpengaruh pada pembentukan karakter.


Menyambut Indonesia Emas


Kita semua tengah menatap Indonesia Emas 2045. Kita bicara soal bonus demografi, teknologi, dan ekonomi. Tetapi tanpa fondasi moral yang kuat, cita-cita itu bisa runtuh. Di sinilah peran ibadah menjadi sangat penting. Ibadah bukan hanya ritual, tapi energi moral untuk membangun bangsa.


Bayangkan jika shalat benar-benar mencegah korupsi, puasa menumbuhkan empati sosial, zakat menghapus kemiskinan, dan haji memperkuat persaudaraan lintas bangsa. Maka kebayanglah dengan jelas betapa cita-cita Indonesia Emas bukan lagi hayalan.


Penutup


Mari kita introspeksi bertanya pada diri sendiri: apakah ibadah kita selama ini sudah membentuk karakter? Ataukah hanya rutinitas tanpa makna? Silahkan kita jawab dengan sejujur-jujurnya. 


Dan. Jangan sampai kita termasuk orang yang sibuk beribadah secara formal, tapi lalai memperbaiki diri. Karena keduanya sama-sama perlu dilakukan dengan penuh kesadaran dan usaha nyata.


Sudah saatnya kita menjadikan ibadah sebagai cermin. Shalat sebagai ujian kejujuran. Puasa sebagai latihan kesabaran. Zakat sebagai tolok ukur kepedulian. Haji sebagai simbol kesetaraan. Bila itu terwujud, umat Islam akan benar-benar sebagai rahmat bagi semesta.


Dan marilah kita bersama-sama melakukan introspeksi: semoga dengan ibadah yang kita jalani, kita sungguh menjadi insan berkarakter mulia, bukan hanya di mata manusia, tetapi terutama di hadapan Allah. (*)



×
Berita Terbaru Update