Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tradisi Haji dalam karya Penulis Brunei

Monday, June 17, 2019 | 10:26 WIB Last Updated 2019-06-17T03:26:11Z


HAJIMAKBUL.COM - Saya mengenal Pak Nizam Al-Kahfi Pkb dari grup facebook. Lalu kami berteman di dunia maya itu. Belum pernah bertemu tentu saja sebab Beliau tinggal di Brunei. Negeri jiran yang ada di pulau Kalimantan itu.

Saya suka cerita Pak Nizam. Cerita pendek. Bahkan lebih pendek dari cerita pendek. Banyak orang suka berpanjang-panjang kalau bercerita padahal intinya sangat pendek. Pak Nizam tipikal penulis yang lugas sehingga ceritanya bisa pendek, meski bisa pula panjang bila konten materi yang disampaikan memang harus panjang.

Ceritanya sederhana. Tentang kita--meski kita itu di Brunei. Tapi kisah kisah itu juga ada di Jawa. Bahkan persis. Seperti sehari-hari saya temui di antara saudara, kerabat, teman, atau yang lain. Ditulis dengan ringan. Dengan bahasa Melayu Brunei yang mirip dengan yang saya pakai di Jawa. 

Dan menulis, sejatinya ya bercerita, seperti kalau kita cerita kepada teman atau ngobrol ngalor ngidul dengan siapa saja. Dalam perjalanan menulis itu nantinya ada muatan sastranya yang secara alami muncul dalam tradisi menulis masing-masing penulis.

Salah satu karya Beliau yang mirip.dengan tradisi di Jawa dan tidak kepikiran untuk saya tulis adalah soal haji. Saya sedang mencoba mencari angle berbeda dengan karya Pak Nizam ini. Berikut saya sertakan salah satu karya beliau soal haji.


HAJI

Karya: Nizam Al-Kahfi Pkb

Ia lelaki tertua di desa kami, Kek Imron. Meski usianya mau menjangkau 85 tahun, ia tetap tampak cekatan. Istrinya sudah lama meninggal, dan ia tidak menikah lagi. Ia tidak punya anak. Sudah lama aku tidak berhubung dengan Kek Imron karena berhijrah ke kota mencari rezeki. Malah aku seperti sudah lupa pada orang tua itu. Hanya pada Idulfitri aku mudik ke desa. Saat aku bocah SD aku selalu mampir ke rumahnya, sekali-sekala menumpang makan.

"Kek Imron mencari-carimu," kata seorang teman yang datang dari desa yang kutinggalkan itu. "Dia mengundangmu hadir ke majlis salamatannya. Dia akan naik haji musim ini."

Hidup Kek Imron  pun tidaklah lebih senang dari kami, itu kesan yang masih melekat di benakku. Berita ia akan menunaikan rukun kelima itu membuat aku berpikir-pikir. Bagaimana orang hidup susah sepertinya, bisa punya biaya? Ia mengambil upah membuat apa-apa saja kerja - upah itu juga tidak ditentukannya. Ia menerima berapa saja yang diberikan, meski kadang kala terlalu kecil berbanding berat tugasan. Saat aku bocah aku selalu juga menolongnya, walau tidak pernah meminta, aku diberinya sedikit upah yang habis aku pakai jajan di sekolah.

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Sekarang aku berada di rumahnya menghadiri majlis selamatan yang amat sederhana. Ia menyambutku dengan girang. Aku mencium tangannya yang kekar. Bagaimana aku bisa hampir-hampir lupa orang tua ini? Aku berasa bersalah karena lama tidak menjenguknya. Aku memeluk Kek Imron. Ia menepuk-nepuk bahuku.

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Gak apa-apa," katanya membaca pikiranku, "Kakek tau kau sibuk mencari rejeki."

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Aku tidak langsung pulang seusai majlis. Aku tolong mengemas-ngemaskan rumahnya. Selepas itu kami duduk santai menghirup kopi hitam diterangi lampu minyak tanah. Bayang-bayang kami terlontar ke dinding medan cicak-cicak mencari rezeki. Bunyi cengkerik memenuhi suasana malam dengan sekali-sekala terdengar suara burung hantu bersahutan, kebetulan langit cerah dan bulan penuh. Kek Imron seorang yang tidak banyak bicara. Aku juga seorang yang pendiam. Selamanya kami diam saja. Aku memandang ke dalam cangkir kopiku berpikir-pikir.

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Oo itu," katanya membaca pikiranku, "sejak bocah 8 tahun, Kakek sudah berniat rukun Islam kelima itu. Sejak itu juga Kakek menabung. Meski sedikit, pokoknya harus menabung terus. Kita sudah berniat dan kita sudah berusaha, seluruh tenaga kerja diniatkan untuk itu, urusan selebihnya diserahkan kepada Alloh Ta'ala."

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Aku mengangguk mengerti. Mengapa sekarang baru aku tahu rahasia ini? Harusnya aku sudah tahu dan mula menabung sejak bocah lagi. Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Ting-ting telinga tikus uang satu sen bisa jadi seratus.

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Dia membaca pikiranku lagi, "Kalo mau, masih belum terlambat," katanya, "pasanglah niat dan mulalah menabung sekarang walau sedikit asal berterusan. Tertunai atau gak tertunai itu urusan Alloh."

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Ia diam untuk sekian lamanya lagi. Aku merenung api di sumbu lampu minyak tanah. Meski ia diam, aku seperti mendengar bicara darinya. Entah apa ia menghantarkan atau aku sekarang yang membaca pikirannya pula.

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Iya kek," kataku. "Aku akan berangkat ke kota besok pagi."

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Aku seperti mendengarkan ia berkata bahawa rezeki itu ada di mana-mana 'gak perlu berhijrah ke kota, di desa ini juga ada, asal ikhlas mencarinya. Pasanglah niat dan menabunglah untuk haji walau sedikit.' Memikirkan itu, aku menyedari, sepuluh tahun di kota, aku masih belum bisa menabung sepertinya. Pendapatanku hanya cukup-cukup makan dan sisa yang sedikit untuk berhibur. 

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Di luar hujan sudah mulai turun, terasa dingin angin berembus. Kemudian, seolah-olah ia tidak mahu meneruskan menceramahiku di dalam kepalanya, ia menukar subjek.

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Iya," kataku menjawab. "Mending aku tidur di sini saja malam ini."

‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Aku meniup corong dan mematikan api lampu minyak tanah. 

© cerita-secangkir-kopi-nak26062017
×
Berita Terbaru Update