Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

GiveAway Buku soal Pilgub Jatim: Konspirasi Para Ibu

Thursday, May 2, 2019 | 08:25 WIB Last Updated 2019-05-02T01:29:52Z


HAJIMAKBUL.COM- Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang hidup dan matiku aku pasrahkan kepada-Nya. Salawat serta salam semoga terus tercurahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.Saya bersyukur, ketika tiba-tiba sahabat saya, Mas Adriono, yang sejak menjadi wartawan di Harian Sore Surabaya Post dikenal jagoan menulis esai, mengirim pesan ke What's App (WA). 

Isinya begini: "Mana bukumu Bro, aku terbitkan!"Mas Adriono memang sudah menulis beberapa buku, baik biografi tokoh maupun ide-idenya terkait fenomena sosial budaya dan politik di negeri ini, yang dia tulis dengan renyah enak dibaca dan tentu saja disuka para fansnya. Karena itu Beliau selalu memotivasi para sahabatnya untuk membuat (menulis) sebuah buku.Katanya, "Masak sudah jadi wartawan selama hampir 25 tahun tak bisa menulis buku. Tulisanmu di Surabaya Post dulu kumpulkan saja, pasti sudah jadi buku 200 halaman."



Lalu saya pun menyanggupi. Cuma saya mengatakan, "Saya mau menulis novel."  Mas Adriono sepertinya ragu, sebab hampir semua sahabat kami-- sesama wartawan SP-- selalu bilang mau menulis novel. Kecuali Mas Yuleng Syahrul Bachtiar dan Mas Imung Mulyanto yang memang novelis. Mas Sukemi, misalnya, katanya mau menulis misteri Borobudur, Mas  Dja Welman Son Andries mau menulis novel ala John Grisham seperti The Firm atau The Client, mungkin juga semacam Michael Crichton (The Andromeda Strain, Jurassic Park), dan Mas Budi Harminto yang sudah menyiapkan penulisan novel sejarah. 

Bila bicara sejarah, Mas Budi memang lebih buku dari bukunya sendiri. Lalu Mas Nur Fakih, yang mau menulis status di Facebook saja "tidak pede" tapi juga ingin menulis novel, dan Mas Nuruddin Ali yang ingin membuat novel Sunan Giri. Nuruddin sang pengusaha kopi ini menamai produknya Kopi Kedaton---asal dari Giri Kedaton. Begitu pula "papi" Erfandi Putra, yang ingin membuat buku profil para pengusaha sukses."Tapi, semua kompak, 'masih akan'. Jadi sebaiknya kumpulkan saja tulisan lama lalu dibukukan," kata Mas Adriono.  Saya setuju. 

Namun yang jadi masalah adalah saya bukan tipe orang yang suka mendokumentasikan karya tulis. Jadi untuk menjawab tantangan itu hanya ada satu cara: menulis. Dan itu novel.Maka, setelah membaca beberapa literatur, saya pun memutuskan menulis novel politik, sebab jarang yang menulis novel di bidang ini. Tapi, tentu saja, kisah dalam novel ini semua fiktif. 

Begitu juga nama-nama yang muncul dalam jalinan ceritanya.Namun, karena yang menulis seorang wartawan, ada saja  persinggungan kisah dan nama dari dunia nyata yang masuk dalam kisah fiksi novel ini.  Tokoh Raisha, misalnya, mungkin, sebagian orang mengarahkan pada sosok Khofifah Indar Parawansa, sebab Beliau memang satu-satunya calon gubernur (cagub) Jatim perempuan yang berani berselancar dalam gelombang politik dengan sangat dramatis.

Karena itu, sempat ada kekhawatiran, jangan-jangan konflik dalam novel ini kalah dramatis dibanding realitas politik yang sudah terjadi dalam dunia nyata. Bila ini benar, hukum pasar pasti sudah memvonis novel ini sebagai "tak layak baca", bahkan sebelum diterbitkan.Sama dengan dunia pelawak yang sunyi sepi tak ada yang mau tertawa lagi sebab realitas di masyarakat sudah sangat lucu. Para politisi sudah lucu-lucu, pejabat hobi "mendagel", birokrat pun "Kartoloan". 

Jadi, seolah tak ada ruang lagi bagi pelawak hingga mereka banyak yang tidak laku karena kalah lucu.Tapi saya memilih karakter Raisha seperti Khofifah bukan untuk lucu-lucuan. Ini lebih karena alasan yang sering dipakai banyak pengarang yang mengacu pada semiotik, bahwa tokoh ini simbol dari sikap berdaya kaum perempuan dalam politik. 



Sosok perempuan berani hadir mewarnai dunia politik yang didominasi kaum laki-laki. Ini jelas akan terlihat lebih menonjol. Tapi, sekali lagi, tokoh Raisha tetap saja fiktif. Begitu pula dengan nama atau karakter tokoh lain.Tokoh Raisha, Eyang, Ibu Suprapti, Ibu ketua umum partai politik penguasa, dan ibunda maupun ibu mertua Raisha, lalu ibu mantan gubernur, hingga Ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi,  dalam novel ini, adalah ghirah dari sebuah konspirasi kebenaran. Bila konteksnya politik, tentu saja berpolitik yang benar. High politic (politik kelas tinggi) yang antara lain ditandai tiga ciri:Pertama, memandang jabatan politik sebagai amanah dan karena itu tidak disalahgunakan apalagi sampai melakukan korupsi. Kedua, jabatan politik mengandung pertanggung jawaban (mas’uliyyah, accountability), terutama di hadapan Allah dan rakyat. Ketiga, jabatan politik didasarkan kepada prinsip ukhuwah (brotherhood)-- persamaan di antara umat manusia.Hanya saja ada semacam rasa putus asa ketika high politic  diharapkan terwujud dari kaum laki-laki. Sebab, fakta sudah menghampar, bahwa mereka suka bermain low politic--yang sangat pragmatis dan selalu bersifat transaksional. Karena itu, meminjam teori semiotik lagi, saatnya kaum Ibu mengambil peran menerima amanah sebagai "pemberi harapan".Saya jadi ingat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, pernah berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’  Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari No. 5971 dan Muslim No. 2548).Dari hal-hal yang substantif itulah novel ini mengalir menuju muaranya.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada semua teman yang mendukung  penulisan dan penerbitan novel ini, terutama para sahabat “sparring partner” dalam menulis di atas, seperti Mas Adriono, Mas Nur Fakih, Mas Fatoni, Mas Budi Harminto, Mas Nuruddin Ali, Mas Nanang Zein, Mas Tulus Setya Utomo, Prof Mas’ud Said, Mas Ari Kusuma yang sebagian kisahnya ada di novel ini, Mas Soni Andries, Papi Erfandi Putra, dan Cak Sul My Culkin yang mendesain novel ini,  serta sahabat lain yang tentu tidak bisa saya sebutkan satu per satu.Saya ucapkan terima kasih kepada istri saya, Ummu Kamilah, karena kesabarannya, mengingat bertepatan dengan penulisan novel ini, kami membuka Warung Ikan dan Ayam Bakar, yang otomatis tugas bakar-bakar yang diamanahkan kepada saya, agak terbengkelai karena saya sibuk menulis pada laptop atau ponsel.



Begitu pula kepada ketiga putri saya, Aisyah Fitria Susanti yang ikut membaca dan mengedit naskah serta mendesain cover, dan dua adiknya, Nilna Nadhiroh Niswah serta Nurina Adwiya Khalisah.Mereka jadi ikut sibuk mengurus proyek ini. Apalagi saya juga menyiapkan novel lain berjudul Sang Pendamping --kini sudah terbit--- yang terinspirasi dari suka duka kerja para pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). 

Aisyah selain kuliah di Universitas Airlangga adalah seorang pendamping PKH.Terima kasih pula pada Ibuku, Ibu Saumi, yang selalu memberi inspirasi pada anak-anaknya, serta terima kasih juga pada semua saudara-saudaraku, yang mendukung setiap langkahku.Novel ini tentu banyak kelemahan sebab merupakan karya pertama saya dalam bentuk novel dan buku. Maka, saya mohon maaf. 

Kritik dan saran dari semua pihak menjadi sangat berharga bagi saya dalam menjaga sikap istiqomah untuk melahirkan buku-buku yang lain. Terima kasih. 

Korespondensi/pemesanan buku,  hubungi penulis: Gatot Susanto

email  :  gatot2012@gmail.com           kaifa_2010@yahoo.co.id
 Hp    : 081331304892

Catatan: 

Buku ini saya berikan sebagai hadiah bagi pembaca yang berlangganan artikel di blog ini via email, tapi khusus pembaca di wilayah Sidoarjo Jawa Timur. Cara berlangganan dengan memasukkan alamat email di kotak berlangganan. Bagi pembaca di luar Sidoarjo tetap gratis tapi dengan biaya pengiriman alias ongkir.  Terima kasih. 


Buku ini juga dijual di playstore buku dalam bentuk ebook. Untuk mencarinya ketik gatot susanto di mesin pencari playstore.  Selanjutnya pembelian bisa dengan pulsa. 



×
Berita Terbaru Update