Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tradisi Ruwah Desa di Bulan Sya'ban, Bagaimana Seharusnya?

Saturday, April 27, 2019 | 09:20 WIB Last Updated 2019-04-27T02:20:07Z

                                         Ruwah desa di Sidoarjo (foto:investigasi.today)

HAJIMAKBUL.COM - Saat kecil di Dusun Ngembul Desa Kesamben Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang, saya dulu merasakan indahnya menjelang puasa Ramadhan. Khususnya momen ruwahan. Momen di Bulan Sya'ban (bahasa Jawa disebut Ruwah) di mana ada acara bersih desa dan berdoa untuk leluhur nenek moyang.  






Ketika itu, hampir semua warga membuat tumpeng kecil yang dibawa menuju pendapa dusun untuk disantap bersama di salah satu dari rangkaian acara ruwahan. Tumpeng yang dibawa warga diletakkan berjajar memenuhi ruangan pendapa. Seorang modin--tetua dusun yang bertugas memimpin ritual ruwahan dengan doa-doa--mulai mendoakan seluruh warga agar diberi kesehatan hingga mendapat banyak rezeki dan dusun pun aman tenteram damai gemah ripah loh jinawi. Setelah doa, semua menyantap hidangan di dalam tumpeng.

Selain acara selamatan dusun, juga ada kegiatan kerja bhakti membersihkan sejumlah kawasan di dusun itu. Termasuk makam dan sebuah tempat yang ada di tengah sawah dengan pohon beringing yang sangat besar. Pohon yang angker. Kadang di lokasi ini juga diadakan selamatan. Namun, dalam perkembangannya, selamatan di lokasi ini yang disertai membakar kemenyan dan dupa dihapus sebab dinilai syirik. Pohon beringin besar itu kemudian dibakar perlahan-lahan hingga hampir habis. Saat ini pohon itu sudah nyaris habis, tapi tiba-tiba saja ada sejumlah orang dari luar dusun hendak menghidupkan lagi ritual-ritual zaman dulu yang cenderung syirik itu.

Puncak acara ruwahan adalah pergelaran wayang kulit yang juga disertai acara selamatan. Warga bersuka cita menikmati hiburan wayang kulit yang dulu sangat digemari warga. Mereka menonton semalaman hingga waktu Subuh.

Sebenarnya tradisi ruwahan berasal dari kata arwah.  Arwahan. Tradisi yang berkaitan dengan pengiriman doa untuk para arwah orang-orang yang telah meninggal dunia dengan mengundang tetangga kanan kiri yang saat pulang mereka diberi ”berkat” alias oleh-oleh yang diambil dari tumpeng sebagai simbul rasa terima kasih kepada warga yang ikut mendoakan arwah leluhur. Oleh karena itu, setiap bulan Ruwah seperti sekarang ini pasar-pasar tradisional di desa berubah ramai sebab banyak warga selamatan. Makna selamatan ini adalah beramal dengan tumpeng yang pahalanya untuk para leluhur dan harapan keberkahan untuk keluarga tersebut.


Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan

Perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah:

1. Tradisi ruwahan sudah sangat lama. Sejak zaman kerajaan Hindu-Budha yang kemudian setelah Islam masuk ke Indonesia, para ulama memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi itu mengingat para ulama tidak ingin secara frontal menghapusnya. Dakwah para ulama Walisongo ini kemudian disebut akulturasi budaya. Dakwah secara damai dengan menyerap budaya lokal yang awalnya syirik, khurafat, dan tahayul.



2. Dulu tradisi ini cenderung syirik sebab warga melakukan ritual untuk memohon sesuatu kepada selain Allah SWT. Warga memohon kepada makhlus halus, bisa arwah leluhur atau jin bahkan setan atau iblis. Syirik dosa yang tidak dimaafkan.

3. Tradisi ini kemudian diluruskan dengan berdoa kepada Allah SWT, baik untuk kesejahteraan dan kebaikan yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Doa untuk orang meninggal sempat jadi kontroversi, tapi setelah ditelusuri ada dalilnya.

Dalil itu adalah firman Allah:


وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Hasyr: 10).

Doa ini bersifat umum. Doa untuk para pendahulu baik yang masih hidup maupun yang sudah meningal.

Dari Ummu Darda’, dia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim no. 2733). Walau hadits ini disebutkan oleh Ummu Darda’ ketika ia meminta do’a pada Abu Az-Zubair saat ia mau pergi berhaji, namun kandungan makna dari hadits tersebut bisa diamalkan. 

Ummu Darda’ berkata pada Abu Zubair:

فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَإِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ

“Berdo’alah pada Allah untuk kami agar memperoleh kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … (disebutkan hadits di atas).”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Do’a pada si mayit, melunasi utangnya, termasuk pula sedekah atas si mayit bermanfaat untuknya berdasarkan kesepakatan pada ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 82).

Artinya, doa sama dengan amal shodaqoh lain yang pahalanya bisa ditujukan kepada almarhum. Sekali lagi, orang yang sudah meninggal tidak bisa dimintai sesuatu, karena itu jangan berdoa meminta kepada orang yang sudah mati sebab itu syirik. Berdoalah kepada Allah SWT untuk almarhum. 



Kirim Doa Bulan Ruwah



Masyarakat melakukan sesuatu di luar tuntutan Nabi SAW sering dicap bidah. Namun hal itu bisa dicegah dengan melakukan doa yang wajar dan biasa saja seperti doa-doa lain meski di bulan ruwah. Berdoa dilakukan setiap saat.

Namun memang ada yang menganggap ada doa yang dikabulkan pada momen tertentu seperti saat malam Nifsu Syaban, malam Maulid Nabi, apalagi di malam Ramadhan--khususnya ketika turun Lailatul Qadar-- daripada malam lainnya. Tapi tentu saja harus ada tuntunannya sebab bila tidak ada tuntunan selain mubazir, kita dicap bersikap melebihkan dalam beragama, yang dilarang oleh Nabi SAW.


Dikutip dari rumaysho.com, Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaniy memberikan suatu kaedah:

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut tidak ada tuntunan.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 116).


Antara Tradisi dan Agama


Bagaimana dengan tradisi yang sudah turun temurun? Ini masalah pelik. Namun harus dipahami bila kita muslim pegangannya harus kepada sunnah Rasul SAW dan Al Quran, serta ulama. Harus hati-hati menyikapi tradisi ini. Dan para ulama pasti sudah tahu garisnya. 

Benturan antara tradisi dan agama sudah purba. Sudah sangat lama. Kita harus arif menyikainya dengan terus menerus melakukan kajian, diskusi, untuk menemukan kebenarannya. Tidak langsung main tuduh bidah dan sejenisnya. Konflik terkait masalah ini tidak seharusnya disertai konflik sosial apalagi fisik.

Namun, Al Quran sudah memberi gambaran soal ini di mana orang musyrik biasa beralasan dengan tradisi untuk amalan-amalan mereka. Orang musyrik itu berkata:

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah berkata, “Sifat orang jahiliyyah adalah biasa berdalil dengan tradisi nenek moyangnya dahulu. 

Sebagaimana kata Fir’aun:

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

“Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (QS. Thaha: 51).

Begitu pula kata kaum Nuh:

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar ajaran seperti ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al Mukminun: 24).”

Kaum Quraisy pun beralasan seperti itu:

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad: 7)

Berarti yang membedakan orang muslim dan orang kafir adalah dalam mengikuti wahyu. Orang musyrik senantiasa beralasan dengan tradisi, sedangkan orang muslim mengikuti wahyu dari Allah dan Rasul-Nya.


Berdoa untuk almarhum sangat dianjurkan. Namun harus hati-hati bila membuat kekhususan pada momen tertentu. Yang patut diperhatikan, doa dari anak  sendiri kepada orang tua yang sudah meninggal lebih jos.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya yang akan selalu menemani orang beriman adalah ilmu dan kebaikannya. Setelah matinya ada ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan, begitu pula anak shalih yang ia tinggalkan, juga ada di situ mushaf yang ia wariskan atau masjid yang ia bangun, atau rumah untuk ibnus sabil yang ia bangun, atau sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan semasa hidupnya. Itu semua akan menemaninya setelah matinya.” (HR. Ibnu Majah no. 242. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan).

Di samping doa dari anak, amal shalihnya pun sebenarya bermanfaat untuk orang tuanya, meskipun ia tidak niatkan untuk kirim pahala pada orang tuanya. Hal ini disimpulkan dari ayat:

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Lalu dalam hadits disebutkan,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa’i no. 4451. 

Al Hafizh Abu Thahir menyataan hadits ini shahih). Ini berarti amalan dari anaknya yang shalih masih tetap bermanfaat untuk orang tua walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Jika tulisan ini menarik, silakan share pada kaum muslimin lainnya sehingga mereka pun mendapatkan pemahaman dan petunjuk. Wallahu waliyyut taufiq.

(Tauhid Zain)




×
Berita Terbaru Update