Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

LIMA RESTO TERKENAL DI JEDDAH: Raja Bakso Mang Oedin Jujukan Jamaah Minim Uang

Thursday, March 2, 2017 | 15:42 WIB Last Updated 2017-03-17T10:33:53Z


Saat menjalankan ibadah umroh pada 24 Januari - 2 Februari 2017 lalu, jamaah dari Atria Tours & Travel Surabaya sempat mampir menikmati menu sejumlah restoran Indonesia di Arab Saudi. Salah satu dari lima resto yang terkenal adalah Raja Bakso Mang Oedin di Jeddah. 


Laporan: GATOT SUSANTO dari Jeddah, Arab Saudi


SEBELUM menikmati sunset di Pantai Laut Merah--tempat Masjid Apung Arrahmah-- yang ramai oleh para wisatawan, para jamaah umroh ATRIA diberi kesempatan mampir di resto Mang Oedin. Suasana saat itu sudah ramai pengunjung. Menu utama resto ini adalah bakso. Tapi ada pula menu lain khas kuliner dari nusantara, seperti soto, sop, gado-gado, pempek, bahkan pecel lele pun ada di resto ini.


Musim liburan, jamaah umroh dari Indonesia membludak, apalagi kali ini juga musim liburan bagi sekolah-sekolah di sejumlah negara Arab. "Sekarang ramai karena memang musim umroh," kata Cecep Ayatullah Mubarok, putra ke-4 dari 8 bersaudara pendiri resto Mang Oedin, kepada wartawan Hajimakbul.com, yang ikut dalam rombongan umroh ATRIA tersebut. Ramainya pelanggan resto ini di musim umroh bisa dilihat dari omzet per hari yang mencapai 35 ribu riyal. Kurs 1 riyal = Rp 3.700.


"Tapi tergantung bulannya, biasanya peak-nya umroh itu bulan Rabiulawal sama bulan Rajab. Sebenarnya bulan Ramadhan juga banyak umroh, tapi kami tidak boleh buka siang hari, bukanya hanya menjelang adzan Maghrib," kata Cecep. Para pelanggan resto Mang Oedin di Jeddah bukan hanya dari Indonesia saja tapi juga dari beberapa warga negara lain, tapi kebanyakan dari Filipina. Meski demikian ada pula warga Arab Saudi sendiri, China, dan orang Eropa.


"Ya karena di tempat kami gak cuma menawarkan bakso," ujarnya. Resto Raja Bakso Mang Oedin dirintis oleh orang tua Cecep bernama H Mahmudin. Saat itu bukan di Jeddah melainkan di Kota Makkah pada tahun 2005. Lokasi tepatnya di Hotel Darussodiq, yang dulu terkenal di lingkungan Pasar Seng. Tapi kemudian pindah ke Hotel Sofitel, tepat di depan pintu keluar Bukit Marwah, tempat berakhirnya sa'i.


"Jadi dulu jamaah haji dan umroh bisa langsung menikmati hidangan selepas sa'i di Safa- Marwah," katanya. Selanjutnya pada tahun 2007/2008, bakso Mang Oedin melakukan "ekspansi" ke kota Jeddah, tepatnya di Balad, Kornes, yang baru saja dikunjungi para jamaah umroh dari Indonesia. Hal itu karena hotel yang ditempati berjualan di Sofitel terkena proyek pelebaran Masjidil Haram. Saat di Jeddah ini, bakso Mang Oedin semakin ramai sebab kota ini dikenal sebagai kota internasional.


 "Orang tua kami merintis usaha ini setelah melihat peluang banyak orang Indonesia naik haji dan umroh. Dulu ayah ke sini kerja sebagai TKI, jadi sopir, sekitar awal tahun 90-an, karena melihat peluang banyaknya jamaah kita di Makkah, dari situ Mang Oedin muncul ide untuk membuka usaha bakso, karena seperti yang kita tahu bakso salah satu ciri khas makanan kita, dan disukai berbagai kalangan," katanya.


 Namun bukan perkara mudah membangun usaha di negeri orang. Yang paling terasa kendalanya di sini adalah regulasi dari pemerintah Arab Saudi, yang super ketat, dan tanpa pandang bulu. "Terus untuk mendapatkan tenaga kerja yang dibutuhkan juga sangat sulit, karena regulasi yang berlaku di sini tadi," katanya.


Selain orang Indonesia, Mang Oedin mempekerjakan karyawan dari Indonesia, Arab Saudi, dan negara lain. Arab Saudi, kata Cecep, peraturannya sangat tertib dan rapi, semua unsur pemerintahan bekerja sesuai tugas dan wewenangnya. Contoh, bagian ketenagakerjaan, mengatur semua tentang ketenagakerjaan, secara rutin memeriksa kelengkapan dokumen pekerja yang harus sesuai dengan bidang dan keahlian yang tertulis di iqamahnya (semacam ID card).

 "Terus bagian baladiyah (pemda/departemen dari pemerintah), bagian kesehatan, kebersihan, surat ijin usaha, dan pemadam kebakaran, secara rutin memeriksa ke tempat-tempat usaha untuk memastikan sesuai dengan peraturan, kalau ditemukan mukhalafah (pelanggaran) maka dikenakan garamah (denda/hukuman) bisa berbentuk uang atau penutupan tempat usaha! Kadang ini yang bikin kami stres," kata Cecep.


 Namun dia bersyukur sejak pertama buka tahun 2005, pengunjungnya langsung banyak. "Alhamdulillah langsung meledak, semenjak itulah nama bakso Mang Oedin menjadi terkenal di kalangan jemaah haji. Hal ini juga karena promosi unik yang dilandasi nilai ibadah, contohnya, memajang slogan di kedai; bayar yang Anda makan, yang lupa kami ikhlaskan! Terus alat pembayarannya pun dibuat universal: bayar pakai rupiah boleh, dollar welcome, ringgit silakan, kalau gak punya uang cukup ucapkan alhamdulillah...," katanya.


 Dikatakan, selama ini pihaknya sering mendapat pelanggan dari jamaah haji atau umroh yang tidak memiliki uang. Jamaah itu ada yang kehilangan uang. "Sebagian lagi kehabisan uangnya, kami tetap persilakan untuk makan di tempat kami. Alhamdulillah, kami terus ramai. Kalau musim haji omzet kami bisa mencapai 70 ribu per hari. Dulu waktu di Makkah cuma memungkinkan buka di musim haji saja, setelah buka di Jeddah baru buka sepanjang tahun," katanya.


 Harga bakso di resto Mang Oedin cukup mahal untuk ukuran orang Indonesia bila memakai rupiah. Satu mangkuk bakso dengan empat pentol harganya Rp 50 ribu. Sedang es dawet harganya Rp 25 ribu. Meski mahal, tapi pengunjungnya toh tetap banyak, khususnya dari jamaah umroh asal Indonesia.


Empat Resto Lain


Selain Raja Bakso Mang Oedin, di Kota Jeddah masih ada empat resto lain yang juga sangat terkenal di kalangan orang Indonesia. Resto ini menjadi favorit bagi WNI maupun warga asing. Pertama, Restoran Batavia. Restoran Betawi yang diresmikan pada tahun 2011 ini merupakan salah satu restoran di Jeddah yang menyediakan aneka ragam kuliner nusantara. Nasi goreng, gado-gado, dan soto Betawi merupakan makanan favorit pengunjung. Restoran yang terletak di Jalan Khalid Ibn Al-Waleed distrik Ash Syarafiah ini juga pernah disinggahi Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Jeddah.


Restoran milik Anjas Asmoro ini buka pada pukul 01:00 siang hingga pukul 24:00 malam. Kedua, Restoran Putri Sriwijaya. Dilihat dari namanya, sudah tentu restoran ini akan mengingatkan kita dengan kota yang terkenal dengan pempek. Ya, restoran ini dirintis pada tahun 2006 oleh Raden Bakri Aminuddin, seorang WNI asal Palembang Sumatera Selatan. Restoran yang berada di jantung kota, tepatnya di Jalan Madinah, distrik Al Ruwais ini, terkenal dengan kelezatan sate ngebul khas padang dan pempeknya.


Tak hanya warga Indonesia saja yang menjadi pelanggan di restoran ini, tapi banyak juga warga Arab yang sering berkunjung menikmati lezatnya kuliner nusantara. Ketiga, Restoran Pasundan. Restoran ini terletak di distrik Al Baghdadiyah Ash Sharqiyah , jaraknya tidak jauh dengan Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ). Restoran yang terkenal dengan ayam bakarnya ini juga menjadi pilihan utama para guru dan siswa SIJ untuk makan siang. Keempat, Restoran Garuda. Letaknya yang strategis dan berada di sebuah pusat perbelanjaan Al Balad, membuat restoran Garuda sudah tak asing lagi bagi warga Indonesia yang menetap di Jeddah. Segala masakan Indonesia tersedia dengan harga yang ekonomis di resto ini.


 Iyad Wirajuda, aktivis Buruh Migran Indonesia (BMI) di Jeddah membenarkan lima resto itu paling digemari WNI. Namun dia menilai, meski terkenal, mereka kurang peduli dengan BMI. Misalnya, BMI memiliki devisi pemberitaan liputanbmi.com yang operasionalnya tentu mengandalkan iklan. “Media kami diakses hampir semua TKI, kami juga sudah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan asal Indonesia. Tapi saat mereka kami ajak kerjasama, sepertinya sulit. Padahal kami ingin mengajak semua agar peduli pada buruh migran di sini,” kata Iyad kepada Hajimakbul.com, Rabu 8 Februari 2017. *
×
Berita Terbaru Update